Buku Marketing 6.0 Jawab Perubahan Customer Experience yang Gabungkan Dunia Offline dan Online

marketeers article
Buku Marketing 6.0 Jawab Perubahan Customer Experience yang Menggabungkan Dunia Offline dan Online. (FOTO: Marketeers/Vedhit)

Hermawan Kartajaya, Founder & Chairman MCorp bersama Iwan Setiawan, CEO MarkPlus, Inc. & Marketeers mengupas lebih dalam tentang buku Marketing 6.0: The Future is Immersive di Periplus, Pondok Indah Mall 1, Jakarta Selatan, Rabu (7/2/2024).

Ditulis oleh Philip Kotler, Hermawan Kartajaya, dan Iwan Setiawan, buku ini mengulas secara menyeluruh tentang Immersive Marketing.

“Diterbitkan oleh Wiley, buku ini menghadirkan pendekatan pemasaran masa depan, yang menjawab perubahan customer experience yang semakin menggabungkan dunia offline dan online,” kata Hermawan.

Konsumen masa kini pun erat dengan dunia phygital atau menggabungkan dunia physical dan digital.  Dunia ini didominasi oleh Gen Z dan Gen Alpha. Kondisi ini pun menuntut strategi pemasaran yang relevan dengan karakter dan preferensi dari segmen tersebut.

BACA JUGA: Marketing 6.0 dan 5 Tren Pendukung Hadirnya Pemasaran Immersive

Dari sini, konsep Marketing 6.0 membawa berbagai pendekatan yang relevan dengan dua segmen konsumen masa depan, seperti pengalaman multisensori, interaktif, dan engagement, untuk menciptakan ikatan yang kuat dengan pelanggan.

“Buku ini membahas tren digital baru, seperti video pendek, media sosial berbasis komunitas, e-commerce interaktif, Artificial Intelligence (AI) berbasis bahasa, dan perangkat imersif,” kata Iwan.

Menurutnya, buku ini dapat membuka wawasan pemasar tentang multisensory marketing, spatial marketing, dan metaverse marketing untuk menciptakan digital experience kepada pelanggan.

Sebagai contoh, McDonald kini telah memanfaatkan teknologi yang dihadirkan di dalam outlet berupa screen besar, yang dapat digunakan oleh konsumen untuk memesan makanan.

BACA JUGA: Hermawan Kartajaya, Immersive Marketing, serta Pengalaman Unik di World of Frozen dan Sphere

“McDonald sekarang bisa pesan pakai screen, tidak hanya lewat kasir, memanfaatkan habit orang-orang yang kesehariannya menggunakan teknologi. Makan langsung di tempat, dengan begitu terdapat digital experience yang disajikan,” ujar Iwan.

Iwan mengungkapkan terdapat lima karakter pengalaman immersive. Pertama multisensor, tidak harus semua panca indera, audio visual adalah yang utama dan kontribusinya sebanyak 90%.

Meski begitu, konten yang melibatkan panca indera akan memperkuat pengalaman konsumen yang imersif.

Kedua, partisipasi yang semua orang berhak berbicara. Ketiga, frictionless, harus ada kemudahan di dalamnya. Keempat, interactive experience, atau ada upaya membangun interaksi dengan audiens. Lalu yang kelima storytelling, yang menuntut adanya jalan cerita.

Preferensi pengalaman imersif antara Gen Z dan Gen Alpha ini pun berbeda. Iwan menyatakan bahwa Gen Z menikmati kegiatan online di dunia fisik, yang disebut sebagai online in offline.

Gen Z menemukan kesenangan dalam berinteraksi secara daring di saluran fisik, menggabungkan augmented reality (AR), virtual reality (VR), dan mixed reality dalam pengalaman mereka sehari-hari.

Sementara Gen Alpha lebih suka menggabungkan pengalaman offline ke dalam dunia online, yang disebut sebagai offline in online.

Gen Alpha merangkul dunia virtual untuk menyampaikan pesan mereka, misalnya melalui platform game seperti Roblox, Minecraft, Fortnite, dan lainnya. 

Dari sini, Hermawan berpesan, penting bagi pemasar untuk memahami dan mengikuti pergeseran tren dari Generasi Y menuju Gen Z dan Gen Alpha.

Era imersif menjadi peluang besar bagi perusahaan yang dapat memahami dan mengadaptasi strategi pemasaran dan memantapkan positioning sesuai dengan tren ini.

Marketing adalah ilmu untuk memenangkan persaingan. Kalau positioning-nya cocok, brand akan bertahan lama,” tutur Hermawan.

Editor: Ranto Rajagukguk

Related