Dalam beberapa tahun terakhir, para pelaku human resources management ramai memperbincangkan fenomena munculnya Generasi Y (Gen-Y). Gen Y merupakan sebutan untuk generasi yang lahir pada tahun 1981-1999. Kita menyebutnya Youth alias anak muda. Generasi dengan kisaran umur 15 – 34 tahun ini menjadi penting keberadaannya karena mereka merupakan orang-orang yang akan atau baru memasuki dunia kerja serta para profesional muda.
Di Indonesia, terdapat lebih dari 80 juta Gen-Y pada tahun 2010 dan diperkirakan akan meningkat menjadi 90 juta pada tahun 2030. Ini berarti sepertiga masyarakat Indonesia adalah Youth.
Gen-Y akan bergabung dalam klub The Avenger-nya angkatan kerja, berdampingan dengan Gen-X dan Baby Boomers. Ketiga generasi primer ini tentunya bekerja dengan karakteristik, nilai diri, dan etika kerja yang berbeda. Bukti-bukti perbedaan ini dapat dilihat dengan gamblang melalui keluhan-keluhan yang biasa mencuat di kantor seperti, “Anak buahku susah diatur”, “Kurang ajar sekali kelakuan anak muda zaman sekarang”, atau “Sibuk terus dengan gadget.”
Saat ini, Gen-X dan Baby Boomers sudah dapat hidup berdampingan dengan damai. Namun, kegelisahan kemudian muncul semenjak Gen-Y “mewabah”di gedung perkantoran. “Bagaimana saya bisa memimpin para “alien”ini?”demikian para manajer bertanya-tanya.
X dan Y: Apa Bedanya?
Para ilmuwan sudah lama mencetuskan berbagai teori mengenai generasi. Namun, apakah sebenarnya yang membedakan satu generasi dengan generasi yang lainnya? Beberapa pendapat menyatakan bahwa sebuah generasi dapat terbentuk sebagai suatu kelompok saat mereka memiliki kesamaan kisaran tahun kelahiran, lokasi, dan peristiwa-peristiwayang signifikan dalam tahap kritis perkembangan hidupnya.
Hal ini bermakna bahwa change di lokasi tertentu menjadi satu faktor yang sangat krusial dalam membedakan kelompok generasi, baik dalam sektor teknologi, ekonomi, politik, maupun sosial budaya. Uniknya, di era new wave seperti sekarang, dunia sudah semakin terhubung dan perbedaan batas negara menjadi hal yang kurang relevan.
Di Indonesia, perbedaan peristiwa bersejarahyang paling signifikan antara Gen-X dengan Gen-Y adalah pada masifnya perkembangan teknologi di masa tumbuh kembang Gen-Y. Exposure dari demokratisasi Internet yang diikuti dengan berkembangnya perangkat teknologi digital di keseharian membuat Gen-Y menjadi lebih familiar, dan bahkan, tak bisa lepas dari Internet. Selalu ON, mungkin itu yang menjadi moto hidup Gen-Y. Hal ini berbeda dengan Gen-X yang, walaupun sudah cukup melek teknologi, tetapi punya moto “cukup tahu aja”. Akibatnya, di tempat kerja, bisa jadi terjadi ketidaknyamanan dari perbedaan cara bekerja. Multitasking sudah menjadi hal yang lumrah buat Gen-Y.
Perubahan politik juga turut andil dalam perbedaan Gen-X dan Gen-Y di tempat kerja. Pemerintahan yang semula bersifat otoriter dan sangat sentralistis berubah seiring dengan pergantian kekuasaan menjadi lebih demokratis dan terdesentralisasi. Dari segi politik, di masa Gen-Y sentralisasi pemerintahan berubah menjadi desentralisasi. Gen-Y yang hidup di era baru hidup lebih bebas untuk menyuarakan pendapat dan pemikiran, terkadang tanpa memerhatikan pemikiran selain dirinya. Mereka merasa memiliki otonomi atas dirinya sendiri.
Mampukah Gen-X Memimpin Gen-Y?
Dengan berbagai keunikannya, Gen-Y tidak boleh hanya dianggap sebagai permasalahan, tetapi justru sebagai kesempatanbagi perusahaan untuk bergerak semakin progresif dan inovatif. Mengapa begitu? Exposure informasi dan tingkat percaya diri yang tinggi adalah modal dasar para millennials untuk merancang berbagai inovasi dengan jiwa entrepreneurship yang bisa jadi tidak dimiliki oleh Gen-X maupun Baby Boomers.
Suka tidak suka, perkembangan perusahaan di masa depan sangat ditentukan oleh peran Gen-Y. Namun, dengan perbedaan nilai-nilai dasar itu, manajemen yang rata-rata adalah Gen-X sudah tidak bisa lagi mengaplikasikan gaya kepemimpinan tradisional, di mana hanya berfungsi sebagai pengalokasi sumber daya dan pengawas kerja.
Survei menunjukkan, 51% Gen-Y membutuhkan sosok pemimpin yang dapat menjadi coach/mentor bagi perkembangan kemampuan dan karirnya. Sebagai coach, Gen-X berperan sebagai motivator, problem solver, inspirator, sekaligus pengarah Gen-Y untuk aktivitas kerjanya. Hubungan antara manajer Gen-X dengan bawahan Gen-Y pun tidak lagi vertikal berbasis pada jabatan, melainkan horisontal. Gen-X harus bisa menjadi confidante atau teman berdiskusi untuk Gen-Y untuk masalah pekerjaan maupun pribadi. Gen-X juga harus lebih fleksibel untuk tidak selalu menjadi ‘CC-TV pekerjaan’. Dengan diberikannya otonomi dan kepercayaan dalam bekerja, Gen-Y justru menjadi lebih termotivasi dan produktif.
Gen-X sebagai pemimpin tidak hanya perlu beradaptasi terhadap gaya kepemimpinan yang baru, tetapi juga menciptakan ekosistem kerja yang mendukung anxieties dan desires Gen-Y. Keinginan tinggi Gen-Y terhadap fleksibilitas dapat diakomodasi oleh manajer dengan adanya kebebasan waktu yang disetujui manajemen dalam melaksanakan pekerjaan.
Selain itu, daya inovasi yang tinggi dari Gen-Y membuat mereka haus akan pencapaian dan tantangan. Manajemen perlu memiliki sistem employee recognition yang solidserta selalu membuka akses bagi Gen-Y untuk mendapatkan tantangan dan pengalaman baru.