Cara Mengukur Efektivitas Iklan Digital yang Kompleks

marketeers article

Meningkatnya perkembangan media digital mau tak mau mendorong para produsen dan pemilik merek untuk menggencarkan strategi promosinya ke media digital. Sekalipun banyak pelaku yang mulai mengembangkan strategi itu, tidak dapat dipungkiri beriklan di media digital tidak semudah di media konvensional.

Pasalnya, media digital memiliki berbagai macam cara pengukuran dalam menjangkau audiensnya, antara lain Cost Per Click (CPC), Cost Per Thousand Impressions (CPM), Cost Per Download (CPD), dan lain sebagainya.

Dengan kompleksitas iklan di media digital, bagaimana cara mengukur efektivitas iklan di media tersebut? Ini menjadi pertanyaan para pelaku industri. Namun, sekarang bisa menjadi tidak.

Sebab, saat ini Nielsen Digital Ad Ratings (DAR) mulai dipopulerkan sejak diluncurkan di Asia Tenggara pada tahun 2015. Riset ini membantu pelaku industri untuk memahami keakuratan target audiens yang dibidik di media digital. Sehingga komunikasi produk dari pengiklan dapat diterima dengan baik oleh target konsumen yang disasar.

Laporan Nielsen DAR yang mengkaji lebih dari 3000 kampanye digital itu menerbitkan benchmark atau acuan yang disebut sebagai On-Target atau Total Khalayak Digital.

Persentase on-target yang dimaksud adalah jumlah impresi yang dipaparkan kepada target utama terhadap total impresi yang didapat pada saat kampanye iklan digital berlangsung. Untuk pasar Indonesia, Nielsen membagi standar persentase on-target pada dua hal; pertama grup kategori, dan kedua jenis media digital.

Berdasarkan grup kategori, Nielsen mengkaji berbagai macam sektor, seperti FMCG, sektor bisnis dan layanan konsumen, dan lainnya. Sebagai contoh, untuk kategori FMCG memiliki on-target digital sebesar 81%. Jika diberedel lebih dalam, persentase yang melihat melalui desktop mencapai 69% dan mobile 80%.

Kendati demikian, Hellen Katherina, Direktur Eksekutif Bisnis Media Nielsen Indonesia mengungkapkan, rerata ketepatan sasaran iklan di media digital untuk jenis website hanya 60%, sedangkan untuk jenis platform atau network hanya 43%.

Itu artinya, untuk kategori website, ada 40% iklan yang salah sasaran. Begitupun dengan platform atau network yang presentase salah sasarannya sebesar 57%.

“Artinya apa? iklan yang dipasang brand tidak dikonsumsi oleh target yang dituju,” ujar Hellen.

Belum lagi, sambung Hellen, adanya fraud membuat iklan seolah-olah memiliki view atau tingkat kunjungan yang tinggi. Padahal yang melihatnya adalah rekayasa elektronik.

“Ini disebabkan bukan orang sebagai basis, tapi aktivitas berupa klik dan view. Bisa saja ada 1 juta impression, akan tapi itu semua ternyata adalah bot,” ucap Hellen di Mayapada Tower, Jakarta, Rabu (14/2/2018).

 

Editor: Saviq Bachdar

Related