Oleh: Tom Richardson, Associate, Quantum Consumer Solutions
Pada bulan Juli tahun ini, Eropa telah menjadi saksi adanya cuaca ekstrem. Saat Inggris dan Prancis mengalami suhu terpanas dalam sejarah mereka, sebagian besar Rusia mencatatkan suhu dingin sampai 10 derajat di bawah rata-rata tahunan.
Di Timur Tengah, Yaman dan Iran mengalami banjir yang mematikan hanya beberapa hari setelah gelombang panas mereda. Berita seperti itu sudah tidak mengherankan lagi karena kita sudah terbiasa mendengar kata-kata, seperti pemanasan global yang kini berganti menjadi perubahan iklim atau krisis iklim.
Kita sebenarnya sudah sadar akan kemungkinan bahwa cuaca bisa berubah secara drastis kapan pun.
Karena ini permasalahan manusia, konteks dalam sustainability adalah segalanya
Di luar dari orang-orang yang terlibat dalam permasalahan lingkungan, sebagian besar konsumen masih kurang paham seputar ilmu lingkungan. Pasalnya, pengalaman dan ekspektasi mereka berbeda-beda terhadap krisis iklim ini, sekarang dan di masa depan, sehingga membentuk persepsi yang berbeda-beda.
Sebagai contoh, untuk sebagian orang, krisis iklim membuat suhu terlalu panas dan mengganggu tidur pada malam hari. Sementara itu, untuk yang lainnya bisa berarti rumah mereka tersapu banjir, atau terjadi penggundulan hutan hingga sungai yang mengering.
Mungkin saat ini bagi konsumen, konteks budaya jauh lebih penting daripada konteks fisik. Sayangnya, di banyak negara, konteks krisis iklim seringkali dipolitisasi, namun diskusi-diskusi ini juga dibentuk oleh tradisi agama, budaya populer dan juga kekayaan ekonomi.
Studi-studi telah menunjukkan apa yang mereka alami di wilayah mereka sendiri bisa menjadi indikator yang lebih baik daripada data-data seputar adanya polusi udara dan air, ataupun intensitas karbon. Bahkan, tingkat edukasi dan pembangunan tidak bisa sepenuhnya menjelaskan keyakinan masyarakat terhadap perubahan iklim.
Dalam satu studi, 78% orang di Bangladesh dan 70% orang di Pakistan dilaporkan punya kepercayaan tinggi terhadap apa yang dikatakan para ilmuwan tentang lingkungan, dibandingkan dengan hanya 23% di Jepang. Terlepas dari sistem pendidikan yang kuat, kepercayaan masyarakat Jepang terhadap ilmuwan menurun setelah bencana Fukushima pada tahun 2011.
Kaum muda di Jepang menjadi kurang tertarik pada perubahan iklim dari waktu ke waktu, berbanding terbalik dengan negara-negara lainnya. Peneliti juga menemukan prospek ekonomi yang buruk membuat kaum muda di Jepang makin enggan untuk terlibat.
Merek-merek belum berhasil untuk memikat konsumen secara percaya diri dan memahami akan isu krisis iklim
Krisis iklim ini adalah konteks yang kritis dan juga bergerak cepat, tetapi kenapa merek-merek global, yang mempunyai dampak besar di dunia, masih belum mengerti pengaruh nuansa budaya dari krisis iklim, dan akhirnya gagal untuk bertindak dengan penuh percaya diri dan kredibel? Baik dengan menyuarakan green credentials mereka, mencoba untuk mendorong perubahan perilaku positif, atau menciptakan produk-produk baru, merek-merek global yang purpose-driven berupaya untuk memikat konsumen-konsumen mereka dalam diskusi tentang iklim lebih intens dari sebelumnya.
Namun, bila mereka melakukannya tanpa mempunyai pemahaman tentang nuansa budaya konsumen, ini akan berisiko karena selain dapat merusak kredibilitas merek tersebut, hal tersebut juga dapat mengundang tuduhan greenwashing. Greenwashing adalah proses menyampaikan kesan palsu atau memberikan informasi yang menyesatkan tentang bagaimana sebuah produk dari perusahaan lebih ramah lingkungan, sementara itu tidak sesuai dengan kenyataannya.
Terlebih lagi, kurangnya kredibilitas diskursus tentang perubahan iklim membuat klaim-klaim seputar iklim sering kali menjadi sia-sia saat tiba di benak konsumen. Kita sekarang hidup di dunia yang begitu kompleks, terutama dalam hal budaya.
Lalu bagaimana merek-merek dapat berbicara tentang perubahan iklim kepada konsumen dengan penuh percaya diri sehingga mereka bisa dipahami oleh konsumen?
TIGA TAHAP UNTUK MEMBANGUN KREDIBILITAS BUDAYA
Mengembangkan prinsip-prinsip utama untuk mengatasi tantangan-tantangan seputar sustainability, yaitu memberdayakan merek-merek dan perusahaan untuk bertindak secara lokal untuk dampak yang global.
Tujuan/Target: Pahami posisi dan isu-isu yang benar-benar krusial dan dipedulikan oleh konsumen
Merek-merek terkemuka yang lebih banyak berlokasi di negara-negara Barat, meskipun bukan berpusat di negara-negara Barat, lebih sering beroperasi di lingkungan dengan budaya yang kebarat-baratan. Ini menjadi titik awal keterlibatan sebuah merek dengan konsumennya berdasarkan pengetahuan dan kosakata-kosakata terkait budaya Barat.
Hal tersebut secara langsung mengasingkan mereka dari alam budaya yang akhirnya memahami isu perubahan iklim dengan lensa yang berbeda. Bila kita memiliki perspektif saat budaya memahami alam dan dampak manusia terhadap alam tersebut, hal ini merupakan langkah penting pertama untuk menentukan parameter keterlibatan yang efektif.
Bahasa ilmiah seperti efek rumah kaca atau CO2 mungkin akan lebih berdampak di Swedia daripada di pasar-pasar yang kearifan lokalnya lebih dikenal, dan alam dipahami dengan istilah-istilah yang lebih menyeluruh. Sebuah contoh yang mengubah suatu ideologi menjadi konsep lokal adalah Good Dot Food, sebuah perusahaan penyedia makanan vegan yang berbasis di India.
Pada saat makanan-makanan serupa dari Barat cenderung berfokus pada manfaat kesehatan dan lingkungan yang disampaikan secara teknis, Good Dot Food telah membangun merek mereka berbasis konsep pengelolaan karma terhadap tubuh dan dunia secara keseluruhan. Hal itu memberikan contoh alternatif yang kuat untuk diadopsi merek-merek asing.
Amatilah dari Sisi Kolektif: Bedah masalahnya sampai ke komponen-komponennya
Krisis iklim adalah masalah yang sangat rumit. Di luar sekelompok kecil konsumen yang terlibat, kerumitan ini dapat menimbulkan kebingungan dan juga kelelahan pada konsumen, terutama di antara mereka yang mempunyai pengertian yang berbeda. Daripada bertumpu pada masalah dalam skala yang besar, akan lebih relevan dan berguna untuk berfokus pada komponen-komponen yang menyebabkan krisis iklim, seperti polusi, atau dampak kekeringan.
Tidak semua unsur yang berkaitan dengan krisis iklim itu relevan untuk semua konsumen. Mempertimbangkan kesadaran masing-masing konsumen tentang masalah ini sangatlah penting, baik secara lokal maupun global, tetapi tidak kalah penting untuk memahami bagaimana konsumen memandang apa yang bisa mereka lakukan sehingga dapat memberikan dampak yang berarti.
Misalnya, sebagian besar konsumen sudah memiliki kesadaran akan meningkatnya suhu global dan ini merupakan sebuah tantangan yang sangat rumit, dan terkadang sampai menumbuhkan rasa putus asa. Sebagai perbandingan, mengatasi polusi dari limbah lokal mungkin ada di benak pikiran mereka dan ini akan memberikan rasa pencapaian yang sangat berarti bila mereka bertindak untuk mengatasinya.
Untuk memulainya, tidak selalu harus menemukan tantangan dari satu lingkungan tertentu. Namun, hal tersebut juga bisa menjadi panduan untuk membuat konseptualisasi dari budaya tertentu.
Ginew, merek denim penduduk asli Amerika Serikat (AS), telah berhasil membangun kesan yang positif sebagai merek yang peduli lingkungan. Mendasarkan ideologi merek mereka pada konsep adat warisan tanah dari budaya mereka, pakaian yang dijual Ginew dirancang untuk dihargai dan diturunkan ke anak cucu, seperti halnya lingkungan yang layak huni diteruskan ke generasi mendatang.
Bertindaklah: Kenalilah hal-hal yang bisa menjadi pengait masyarakat dan juga solusi yang paling bermakna
Mengenali apakah sebuah masalah itu relevan atau tidak sebenarnya tidaklah cukup untuk bisa membuat konsumen terlibat. Kosakata dan pencitraan yang digunakan untuk mengutarakan isu-isu tersebut mungkin akan sangat bervariasi menurut budaya-budaya yang berbeda, tetapi ini adalah satu alasan atau motif untuk menjadikannya sebagai suatu tindakan.
Ini tidak akan hanya terkait dengan garis besar yang muncul di benak kita. Ketika memikirkan masalah tersebut, seperti apakah polusi artinya kantong plastik atau jalanan yang berasap, tetapi akan muncul juga pemikiran seputar alasan-alasan lainnya untuk kita mulai peduli dengan masalah ini.
Misalnya, tradisi keagamaan yang secara dominan menekankan keseimbangan alam. Pengertian ini mungkin bisa lebih efektif untuk pasar tersebut.
Sementara itu, di dalam konteks Agama Abrahamik, seperti Yahudi, Islam dan Kristen, gagasan tentang keadilan, tanggung jawab dan rasa hormat terhadap sesama akan bisa memberikan dampak yang lebih berarti. Akan tetapi, yang paling penting adalah solusi yang ditawarkan merek-merek harus selaras dengan ekspektasi budaya.
Budaya kolektif mungkin tidak akan direspons baik bagi individu-individu tertentu, sementara dalam konteks individualistik, gagasan untuk memicu tindakan komunitas di suatu masalah mungkin akan terasa tidak realistik. Dalam konteks politik yang otoriter, akan ada lebih sedikit ruang untuk menerapkan solusi kekuatan rakyat daripada yang demokratik.
Di Indonesia, situs e-commerce Bukalapak telah mengaitkan mereknya secara erat dengan konsep gotong royong. Dengan mempromosikan penjual ramah lingkungan yang inovatif, selain bisa meningkatkan kebanggan nasional, Bukalapak telah membuat kita sadar bahwa sustainability atau keberlanjutan adalah inti dasar dari hanya beberapa merek saja yang sekarang ada di pasaran.
Dengan memperjuangkan ideologi tersebut, Bukalapak membantu penjual-penjual kecil ini untuk terus menjalankan nilai-nilai mereka dalam menjunjung tinggi komunitas. Bila dilakukan secara bersamaan, prinsip-prinsip ini akan memberikan merek, besar maupun kecil, sebuah denah atau rencana untuk dampak global yang tetap relevan secara lokal.