Banyak spekulan mengatakan pasar properti pada tahun 2017 akan bertumbuh setelah terseok sejak tahun 2015. Namun, pada faktanya, penjualan properti tak seperti yang diharapkan. Banyak proyek high residentials harus tertunda.
Namun, tahun 2018, ada segelintir harapan muncul. Sepanjang kuartal pertama tahun ini, pemain properti mengaku penjualan mereka lebih baik dari periode pertama tahun sebelumnya. Begitupun dengan pemain properti kakap seperti Sinarmas Land.
“Banyak dari sales kami mengatakan penjualan properti tahun ini lebih baik 20% hingga 30%,” kata Ishak Chandra, CEO Strategic Development & Services Sinarmas Land.
Sebenarnya, meski membaik, keadaan tersebut belum bisa disebut pulih. Ishak berpendapat, properti akan kembali rebound pada tahun 2019 atau setelah berlangsung hajatan akbar Pemilihan Umum. “Investor sebenarnya punya uang. Mereka hanya wait and see,” jelas Ishak.
Salah satu indikasinya adalah indeks pertumbuhan properti yang menurun menjelang Pemilu. Nah, enam bulan setelah pesta demokrasi usai, indeks pertumbuhan properti diyakini kembali merangkak naik.
“Siapa pun presidennya, baik itu yang menjadi idola masyarakat atau bukan, setelah pemilu, pasar properti pasti akan bounch back,” kata dia.
Pasalnya, menurut Ishak, berkaca dari pengalaman pemilu 2014 yang dimenangkan Presiden Joko Widodo, pasar properti malah terseok. Padahal, Jokowi disebut-sebut sebagai presiden pilihan rakyat.
Ini disebabkan karena pada tahun 2014, Bank Indonesia membuat aturan KPR Inden. Adanya aturan tersebut membuat pengusaha properti kerepotan karena harus memberikan jaminan buyback guarantee kepada bank untuk memperoleh kucuran dana KPR inden.
Yang lebih membuat berat lagi, developer harus memberikan jaminan personal senilai dengan kredit yang dikucurkan bank. “Saat itu, istilahnya orang sudah nyungsep, malah semakin nyungsep. Seharusnya, properti memiliki siklus delapan tahunan. Namun, hal itu tidak terjadi karena berbagai aturan pemerintah,” terang dia.
Ishak meyakini, investor sebenarnya mempunyai dana segar, namun mereka memilih menaruhnya di tabungan dan deposito perbankan. Tak heran interest bank turun yang berarti bank sebenarnya sedang over liquid alias kebanjiran uang.
“Biasanya, interest naik apabila bank sedang getol-getolnya membutuhkan dana pihak ketiga,” lanjut dia lagi.
Selain itu, pasar modal juga mendapat berkah dari kegemaran investor yang hobi menaruh uang di instrumen pasar uang. Selama dua tahun terakhir, IHSG cenderung naik, yang mana pada Januari 2015 mencapai rekor tertinggi menembus 6.600 basis poin.
“Jika saat ini menurun, itu karena ada koreksi saja. Dan, itu wajar,” terangnya.
Editor: Sigit Kurniawan