Kehadiran teknologi finansial mencoba mengeliminasi kesenjangan dengan memberikan kesempatan akan akses keuangan yang sama antara penduduk desa dan kota. Hal ini dilakukan untuk menaikkan tingkat pendapatan di desa. Gerakan microfinance (MFI) hadir untuk menyetarakan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan penduduk berpenghasilan rendah.
Sebagai sebuah MFI, Amartha memiliki fokus pada pemerdayaan perempuan melalui layanan teknologi peer-to-peer lending untuk mengurangi kesenjangan gender di Indonesia. Bekerja sama dengan Central of Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada, Amartha melakukan riset bertajuk “Peran Amartha dalam Meningkatkan Kesejahteraan di Pedesaan”.
Riset kolaboratif ini dilakukan pada 88 responden mitra Amartha di delapan kota di Jawa, mencakup Bandung, Bogor, Subang, Sukabumi, Banyumas, Klaten, Kediri, dan Mojokerto. Metode yang digunakan adalah metode gabungan antara survei, wawancara, dan focus group discussion.
Dijelaskan oleh Dewa Ayu Diah Angendari, Sekretaris Eksekutif CfDS UGM hasil riset menunjukkan bahwa Amartha berhasil meningkatkan kesejahteraan para mitranya dengan membuat pendapatan mereka naik hingga tujuh kali lipat melebihi Upah Minimum Regional (UMR) setempat.
“94% mitra Amartha merasa lebih sejahtera setelah bergabung. Penghasilan mereka naik dari hanya sekitar Rp 1-2 juta per bulan menjadi Rp 5-10 juta per bulan,” jelas Diah.
Kenaikan pendapatan antar wilayah pun berbeda. Misalnya saja wilayah Klaten, para mitra dapat meraih peningkatan pendapatan hingga tujuh kali lipat. Sedangkan Bogor, Kediri, dan Bandung dapat mencapai masing-masing enam, dua, dan lima kali lipat.
“Adanya kenaikan pendapatan tersebut dikarenakan tersedianya akses modal yang dapat meningkatkan produktivitas para perempuan pelaku UKM. Selain itu, modal juga dapat membuka akses pasar yang lebih luas,” tambah Diah.
Untuk mengedukasi para mitranya agar dapat lebih mandiri lagi, Amartha juga mengadakan pertemuan majelis atau kelompok mitra beranggotakan 10-25 orang. Pada pertemuan ini para mitra akan diberi pendampingan dan Pendidikan mengenai tata kelola usaha dan keuangan.
“Dengan metode ini, Amartha dapat menjembatani kesenjangan yang muncul dari rendahnya tingkat Pendidikan dan akses informasi perempuan di pedesaan,” ujar Aria Widyanto, Chief Risk and Sustainability Officer Amartha.
Riset CfDS ini juga menjelaskan mengenai latar belakang para mitra Amartha memilih fintek peer-to-peer (p2p) lending dibandingkan jasa keuangan formal lainnya, seperti jarak yang jauh dari bankm jumlah pinjaman yang dapat diajukan terlalu besar, syarat administrasi lebih kompleks, hingga terbiasa dengan transaksi tunai.
“Sebenarnya alasan yang paling utama sederhana saja, mereka harus berpakaian rapih sebelum ke bank dan bertemu dengan satpam duluan sudah membuat mereka takut. Karena itu, mereka lebih memilih p2p lending seperti Amartha,” jelas Diah.
Editor: Sigit Kurniawan