Di tengah persaingan bioskop yang kian ketat, CGV Cinemas mulai menawarkan satu per satu format studio mereka yang telah dikembangkan lebih dulu di negeri asalnya Korea Selatan. Kali ini, CGV memboyong studio bioskop ScreenX.
ScreenX merupakan auditorium bioskop yang memiliki layar 270 derajat, di mana penonton sinema dapat melihat tampilan layar panorama yang ada di kanan dan kiri layar.
“Sehingga, penonton tidak hanya melihat layar di depan mereka, tapi juga di kanan dan kiri bioskop,” ujar Andy Kim, COO CGV Cinemas saat nonon bareng film Pirates of Caribbean di Grand Indonesia, Jumat, (26/5/2017).
ScreenX menambah daftar layar bioskop yang dibawa CGV di Indonesia. Sebelumnya, CGV memiliki Velvet, Gold Class, Sweetbox, SphereX, 4DX, dan Starium. Studio ScreenX tersebut diluncurkan pertama kali di CGV Grand Indonesia dengan kapasitas 140 tempat duduk dan harga tiket mulai Rp 60.000 hingga Rp 70.000 per kursi.
“Jika respons baik, kami akan bawa studio ini ke beberapa kota di Indonesia,” ujar Manael Sudarman, Head of Marketing CGV Cinemas Indonesia.
Manael melanjutkan, pihaknya kerap memboyong berbagai jenis studio bioskop di tanah air demi memberikan pengalaman berbeda kepada konsumen dalam menikmati film di bioskop.
Hal ini sesuai dengan positioning yang dibangun CGV Cinemas yaitu beyond cinema experience. “Ini cara kami melakukan diferensiasi,” ungkap dia.
ScreenX awalnya dikembangkan di Korea Selatan pada tahun 2011. Selain Korea dan Indonesia, studio ini telah tersebar di 119 lokasi di empat negara lain, yaitu China, Thailand, Vietnam, dan Jepang.
Manael menerangkan, salah satu tantangan menerapkan studio ini adalah sulitnya memperoleh film dengan format yang bisa diterapkan di ScreenX. Pasalnya, tidak semua rumah produksi membuat film dengan format tersebut.
“Idealnya, pemilik film sudah membuat format untuk ScreenX, yang mana film diambil dengan layar di samping kiri dan kanan,” terangnya.
Namun, sambung dia, film-fim yang tidak membuat format tersebut, masih bisa ditayangkan di studio ScreenX. Asalkan, film itu harus disunting terlebih dahulu oleh pihak CGV Cinemas.
Pengeditan pun mesti dilakukan CGV di kantor pusatnya di Korea Selatan. Ini persis seperti yang dilakukan CGV untuk studio 4DX, di mana CGV harus melakukan penyuntingan pada bagian-bagian film yang diberikan efek. Penyuntingan itu juga harus disetujui oleh pihak pembuat film.
Makin semarak
CGV Cinemas mulai masif mengepakkan sayap bisnisnya di Indonesia sejak tahun 2014, ketika mulai menjadi pemegang saham operator blitz, PT Graha Layar Prima Tbk. Tahun lalu, CGV telah menjadi pemegang saham mayoritas atau sebesar 52% saham.
Sejak saat itu, CGV Cinemas merestrukturisasi perusahaan dan melakukan rebranding blitz menjadi CGV Cinemas.
CGV yang merupakan anak usaha konglomerasi CJ Corps asal Negeri Gingseng itu bertekad memiliki 100 bioskop dengan 1.000 layar hingga tahun 2020 di Indonesia. Tahun lalu, CGV mengoperasikan 27 bioskop dan 185 layar. Pada tahun 2017 ini, pihaknya akan menambah jumlah bioskop hingga seluruhnya mencapai 40 bioskop dengan 270 layar.
Selain mesti bersaing dengan pemain lama sekaligus pemimpin pasar bioskop Cinema XXI, CGV juga tengah dibayang-bayangi oleh Cinemaxx, bioskop besutan Grup Lippo. Tak mau kalah, perusahaan ini berkomitmen membuka 1.000 layar di 300 lokasi yang tersebar di 85 kota nusantara. Investasi awal pun disinyalir memakan biaya Rp 6 triliun.
Belum selesai sampai di situ, CGV juga bakal menemui pesaing barunya. Adalah Agung Sedayu Group, perusahaan properti milik taipan Sugianto Kusuma yang segera meluncurkan bioskop berbendera Flix Cinema pada tengah tahun ini.
Lokasi bioskop tersebut pertama kali akan hadir di PIK Avenue Jakarta, yang tak menutup kemungkinan akan beroperasi di berbagai pusat belanja milik Agung Sedayu, seperti Mall of Indonesia, Grand Galaxy Park Mall, dan Dharmawangsa Square.
Ini sebenarnya bukan pertama kali Agung Sedayu kepincut bisnis bioskop. Sebelumnya, melalui kerja sama dengan perusahaan investasi asal Singapura Quvat Management Pte. Ltd, Agung Sedayu sempat menaruh saham di blitz saat awal-awal bioskop ini beroperasi di Indonesia pada tahun 2004.
Kehadiran Flix Cinema milik Agung Sedayu tentunya bakal meramaikan pasar bioskop tanah air, sehingga diharapkan dapat mengurangi ketimpangan rasio jumlah layar bioskop saat ini.
Para pemain bioskop juga diharapkan membuka studionya di berbagai kota nusantara yang masih belum terjamah layar lebar. Semua ekspansi ini dipicu setelah bisnis bioskop dihapus dari Daftar Negatif Investasi (DNI). Hal ini membuat pihak asing boleh memiliki 100% saham di bisnis tersebut.