Dunia perbioskopan di Indonesia nampaknya bakal bergairah pada tahun 2015. Selain karena adanya pemain baru Cinemaxx yang berkomitmen membangun 1.000 layar hingga 2019. Juga semakin bermunculnya kota-kota berkembang yang memiliki pendapatan kelas menengah yang meningkat.
Pemain lama Cinema XXI (PT Nusantara Sejahtera Raya) telah menyiapkan berbagai langkah untuk mempertahankan tampuk kepemimpinannya di industri bioskop Tanah Air. Perusahaan yang berdiri sejak tahun 1983 ini akan menambah jumlah layarnya dari 758 layar pada saat ini, menjadi 1.000 layar pada tahun 2017. Artinya, selama dua tahun ke depan, Cinema XXI akan menambah 242 layar di Indonesia.
“Setiap tahun, kami membangun minimum 12 hingga 15 bioskop baru. Tahun depan, kami akan fokus buka di luar Jakarta, seperti di existing market kami, antara lain di Solo, Yogyakarta, Palembang, dan Manado. Fokus kami ke depan juga akan membuka cabang di daerah yang belum terjamah layar bioskop, seperti Palu, Gorontalo, Tanjung Pinang, Mataram, Lombok, Singkawang, Padang, dan Papua. Kami ingin masuk sebanyak mungkin,” ucap Catherine Keng, Corporate Secretary Cinema XXI.
Catherine melanjutkan, untuk membangun satu layar bioskop, pihaknya mesti menggelontarkan dana Rp 2 miliar. Setengah dari dana itu digunakan untuk membeli alat proyektor. Sedangkan sisanya lagi digunakan untuk membangun interior ruang. Dana itu pun kata Catherine di luar dari biaya lokasi yang biasanya disewa XXI selama kurang lebih 10 tahun. Dari segi teknologi, Cinema XXI juga akan menambah layar dengan sistem audio Dolby Atmos, dari 17 layar saat ini menjadi 100 layar sepanjang tahun 2015.
Hingga Mei tahun ini, Cinema XXI telah tersebar di 145 lokasi bioskop di 33 kota nusantara. Cinema XXI pun mengembangkan empat tipe bioskopnya, yaitu Cinema 21, XXI, The Premiere dan IMAX. Ke depan, Catherine bilang, bioskop berbendera Cinema 21 akan diubah sepenuhnya menjadi XXI. “Kami perlahan-lahan akan mengubah bioksop lama Cinema 21 menuju XXI. Mungkin dalam satu atau dua tahun ke depan sudah berubah total,” tandasnya.
Tantangan film nasional
Walau jumlah layar bioskop secara umum bertambah, nyatanya jumlah penonton mengalami penurunan, khususnya di kota-kota besar. Hal ini salah satunya disebabkan oleh semakin banyaknya alternatif hiburan bagi masyarakat. Selain itu, faktor kemacetan juga tak luput dari alasan konsumen enggan pergi ke bioskop.
“Pergi bioskop memang aktivitas yang membutuhkan usaha. Selain kadang harus menerobos kemacetan, juga harus menyita waktu dua jam dan merogoh kocek. Sehingga filmlah yang menjadi kunci daya tariknya. Kalau filmnya bagus, pasti akan dicari dan ditonton orang dan menghasilkan pemasaran word of mouth,” tegas Catherine.
Film sudah tentu menjadi nadi bagi sebuah bioskop. Semakin tinggi jumlah tiket yang terjual, semakin besar pula pendapatan yang diraih bioskop. Karenanya, Cinema XXI cukup jeli memilih film mana yang akan ditayangkan di setiap layarnya. Tantangan semakin terasa saat harus menghadikan film di tengah minimnya film Blockbuster maupun film Hollywood yang bagus.
“Kalau film Blockbuster seperti superhero, pasti laku keras. Di sisi lain ada masa dimana kami harus mengisi layar bioskop kami dengan film-film indie atau film berbujet rendah agar bioskop tetap jalan,” papar Catherine.
Perempuan ini pun mengakui sampai saat ini, pasar Indonesia masih menyukai film Hollywood, sehingga film jenis ini menguasai jumlah jam tayang di Cinema XXI. Di sisi lain, Cinema XXI juga mendorong film nasional agar tampil di jaringan bioskop mereka. Setidaknya, dalam satu minggu, ada dua film buatan dalam negeri tayang di jaringan Cinema XXI.
“Film Indonesia harus kami jaga. Walau penjualannya kurang baik, kami tidak langsung tarik film itu, melainkan kami kurangi jumlah layarnya. Ini sebenarnya menjadi tantangan produsen film nasional, yaitu bagaimana menghasilkan konten film berkualitas yang disukai konsumen. Sebab, banyak juga film yang ditolak tayang di FTV, ingin tayang di bisokop kami,” katanya panjang lebar.
Satu hal yang membuat film nasional terlihat unik adalah karena sedikit-banyak dipengaruhi rasa lokalisme yang kuat. Artinya, suatu film bisa saja tidak laku di daerah tertentu, tetapi di daerah lainnya menjadi laku keras. “Misalnya, film Bombe' yang bercerita soal kritik atas perang antarkelompok yang kerap terjadi di Makasar. Di ibu kota Sulawesi Selatan itu, film tersebut laku keras. Hal yang sama juga terjadi pada film 3 Nafas Likas yang berlatar Kota Medan. Di Sumatera Utara, film tersebut juga laku. Jadi, memang konsumen Indonesia memiliki local favour yang tinggi,” tutupnya.