Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai adopsi Sistem Resi Gudang (SRG) oleh petani masih rendah. Padahal sistem ini memungkinkan petani untuk mendapatkan harga jual yang lebih baik.
Jika teknologi yang tersedia pada setiap gudang memadai, juga dapat berkontribusi pada hasil panen yang lebih bermutu.
“Adopsi SRG yang terdesentralisasi memberikan kebebasan kepada pemerintah daerah dalam menetapkan kebijakan yang terkait dengan operasi SRG. Tapi di saat yang bersamaan, hal ini juga mengakibatkan belum meratanya implementasi SRG yang juga dipengaruhi oleh komitmen dari masing-masing pemerintah daerah,” kata Peneliti CIPS Azizah Fauzi dalam siaran persnya, Selasa (10/1/2023).
SRG adalah suatu sistem yang memungkinkan petani untuk menyimpan hasil panennya di gudang penerbit resi, menerima resi sebagai bukti kepemilikan komoditas yang disimpan, dan memungkinkan petani melepaskan hasil panen ke pasar dengan harga yang lebih tinggi di luar musim panen.
BACA JUGA: CIPS: Inklusivitas Transformasi Digital Perlu Didukung Literasi
Selain itu, sistem SRG juga dimaksudkan sebagai alat untuk membantu meningkatkan akses pembiayaan bagi petani, kelompok tani, dan koperasi. Tanda terima hasil panen yang disimpan dapat digunakan sebagai jaminan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya.
Sesuai Peraturan Menteri Keuangan No. 187 Tahun 2021 tentang Skema Subsidi Resi Gudang, pengguna berhak menerima pinjaman tidak lebih dari 70% dari nilai resi dengan maksimal Rp 500 juta per pengguna per tahun. Data Badan Pusat Statistik tahun 2017, di Kabupaten Cianjur dan Subang, Jawa Barat, hanya 800 petani padi yang menggunakan SRG dari 324.558 petani.
”Meskipun menawarkan akses pembiayaan dan peningkatan pendapatan kepada petani, enam belas tahun setelah berdirinya di Indonesia, SRG masih belum dimanfaatkan secara optimal oleh petani,” ujar Azizah.
Implementasi SRG dilakukan berdasarkan undang-undang dan undang-undang ini menetapkan peran pemerintah nasional dan provinsi dalam SRG. Pemerintah pusat bertanggung jawab untuk merancang kebijakan nasional dan menyelaraskan kerja sama intrasektoral untuk mendorong implementasi SRG.
Sementara itu, pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten) bertanggung jawab untuk membuat kebijakan daerah dalam rangka implementasi SRG.
BACA JUGA: CIPS: Aturan Data Lintas Batas Indonesia Perlu Diperjelas
Penelitian terbaru CIPS yang berjudul Meningkatkan Partisipasi Petani dalam Sistem Resi Gudang merekomendasikan beberapa hal untuk meningkatkan adopsi SRG. Yang pertama adalah, SRG perlu menawarkan nilai tambah kepada petani.
Nilai tambah seperti memastikan adanya layanan pasca panen yang dapat menjaga bahkan meningkatkan mutu produk misalnya, dapat meyakinkan petani untuk menggunakan sistem tersebut daripada langsung menjual hasil panennya ke tengkulak.
Selanjutnya, adalah perlunya peningkatan partisipasi sektor swasta untuk mendukung pengembangan bisnis pergudangan. Peningkatan partisipasi akan mendorong keterampilan kewirausahaan dan manajerial operator gudang dan meningkatkan jumlah layanan yang ditawarkan di gudang.
Untuk meningkatkan minat sektor swasta dalam kemitraan tersebut, penetapan harga yang transparan, penggunaan sistem pelacakan dan asuransi dapat ditekankan untuk mengurangi risiko bagi calon mitra. Penambahan insentif bagi investor atau penyedia layanan juga layak untuk dipertimbangkan.
Yang terakhir adalah perlunya penyusunan peta jalan nasional untuk pengembangan SRG. Hal ini sangat penting untuk meningkatkan informasi yang tersedia mengenai komoditas, lokasi gudang, dan koneksi dengan sentra produksi dan industri untuk menarik investasi.
Editor: Ranto Rajagukguk