Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mengatakan Indonesia perlu memperjelas regulasi terkait aliran data lintas batas atau cross border data flow untuk memaksimalkan manfaat ekonomi dari transformasi digital.
“Meskipun Kementerian Komunikasi dan Informatika telah berulang kali menyatakan komitmennya untuk memungkinkan aliran data lintas batas, sejauh mana upayanya? masih belum jelas,” jelas Head of Economic Opportunities Research CIPS Trissia Wijaya dalam siaran persnya, Rabu (4/1/2023).
Trissia melanjutkan, United Nations Conference on Trade and Development mengidentifikasi Indonesia sebagai negara dengan pendekatan terbatas pada aliran data lintas batas dalam laporan tahun 2021. Status ini tentu tidak bisa dilepaskan dari undang-undang lokalisasi data di Indonesia.
BACA JUGA: CIPS: Tiga Hal dalam Ekonomi Digital 2022 Masih Jauh Dari Harapan
Alih-alih melakukan lokalisasi data, Indonesia dapat mengadopsi peraturan yang mengklasifikasikan dan memperlakukan data berdasarkan risiko. Pendekatan semacam itu dapat membantu mengatasi masalah perlindungan dan keamanan data, khususnya data yang sangat sensitif yang membawa risiko keamanan nasional, sambil tetap memungkinkan Indonesia memperoleh manfaat dari nilai ekonomi data.
Kebijakan lokalisasi data tidak selamanya efektif mengingat kebijakan ini membutuhkan sumber daya dan biaya yang cukup besar bagi perusahaan yang belum terlalu scale-up. Sumber daya dan biaya tambahan ini tentu dapat memunculkan keengganan mereka untuk memasuki Indonesia.
Meskipun Undang-Undang PDP yang baru saja disahkan telah mengidentifikasi beberapa kategori data, seperti data pribadi dan data pribadi sensitif, undang-undang tersebut masih membutuhkan mekanisme yang lebih jelas, serta peraturan turunan, pada jenis data yang berbeda.
Turunan dari UU P2SK (Omnibus Law Keuangan) yang baru disahkan juga diperlukan untuk mengklarifikasi persyaratan benchmark dan sertifikasi terkait petugas perlindungan data, serta lembaga perlindungan data.
BACA JUGA: Pengelolaan Big Data Tepat, Kampanye Pemasaran Bisa Tepat Sasaran
Trissia juga menyebut Indonesia masih tertinggal dalam hal talenta digital, tenaga kerja terdidik dan canggih secara digital. Berdasarkan laporan Boston Consulting Group, adopsi teknologi cloud publik akan menghasilkan 345 ribu pekerjaan baru dan negara membutuhkan setidaknya 600 ribu talenta digital setiap tahunnya di beberapa sektor termasuk 5G, big data dan soft skill.
Namun, setengah dari total tenaga kerja Indonesia hanya memiliki keterampilan digital dasar sehingga kurang kompetitif dibandingkan dengan negara di Asia Pasifik. Untuk mengembangkan talenta digital, Kementerian Komunikasi dan Informatika telah mengembangkan beberapa inisiatif, seperti program Digital Talent Scholarship dan Digital Leadership Academy.
Efektivitas program ini perlu terus ditingkatkan untuk menjangkau lebih banyak masyarakat Indonesia dan ditingkatkan dengan cara yang tidak hanya meningkatkan bakat di platform digital, tetapi juga mempersiapkan tenaga kerja dalam mengelola infrastruktur data.
Editor: Muhammad Perkasa Al Hafiz