Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai melonjaknya harga beras belakangan ini menunjukkan pentingnya pemerintah memiliki strategi stabilisasi harga maupun pasokan beras dalam negeri, termasuk melalui relaksasi impor. Beras bahkan menjadi kontributor tertinggi terhadap inflasi pangan nasional.
Kementerian Perdagangan mengatakan kenaikan harga beras domestik, selain karena baru memasuki masa tanam, harga di penggilingan kini juga sudah lebih tinggi dari harga penyerapan Bulog yang ditentukan pemerintah hingga badan pemerintah ini pun sulit menyerap pasokan yang ada. Ketersediaan beras juga tidak merata dengan surplus di beberapa daerah.
Sementara itu, sejumlah daerah lainnya defisit. Kenaikan harga pupuk akibat konflik Rusia-Ukraina juga berkontribusi kepada produksi komoditas pangan di Indonesia, termasuk beras.
Penelitian CIPS menunjukkan harga beras di Indonesia masih lebih tinggi dari di harga beras internasional, termasuk di negara-negara produsen dan eksportir beras utama di kawasan Asia Tenggara, seperti Thailand dan Vietnam. Pemerintah, menurutnya, bisa merelaksasi kuota impor beras jika harga mulai sulit dikendalikan dan menutup kembali keran impor tersebut ketika harga komoditas utama ini sudah kembali stabil.
Rantai pasok yang panjang dan infrastruktur yang tidak memadai untuk menjangkau jarak kepulauan Indonesia yang luas turut berkontribusi dalam menyebabkan harga beras yang tinggi melalui biaya logistik yang mahal. Hasran menambahkan relaksasi hambatan perdagangan beras perlu dilakukan untuk memenuhi konsumsi beras nasional yang terus meningkat.
Terlepas dari klaim bahwa pasokan beras Indonesia berlimpah dan dapat diakses dengan harga terjangkau, masyarakat Indonesia masih berjuang dengan harga beras yang tinggi.
“Karena harga internasional lebih rendah dari harga beras domestik, maka relaksasi impor bisa membantu menstabilkan harga di dalam negeri dan dengan demikian juga membantu mengendalikan inflasi,” ujar Peneliti CIPS Hasran dalam siaran persnya, Senin (31/10/2022).
Hasran mengatakan kuota impor memang perlu diterapkan demi menjaga nilai tukar petani dan juga menjaga volatilitas harga. Namun, jika harga beras di dalam negeri sudah tinggi, mengimpor beras yang lebih murah seharusnya dapat menjadi opsi dalam menstabilkan harga.
Badan Pusat Statistik (BPS) minggu lalu mengatakan produksi beras untuk konsumsi pangan penduduk pada 2022 diperkirakan sekitar 32,07 juta ton, mengalami peningkatan sebanyak 718,03 ribu ton atau 2,29 persen dibandingkan produksi beras di 2021. Konsumsi beras penduduk diperkirakan sebesar 30.90 juta ton. Namun, pasokan tidak merata sepanjang tahun.
Meski sudah tidak lagi mengimpor beras untuk konsumsi dalam beberapa tahun terakhir ini, Indonesia masih mengimpor beras untuk keperluan industri. Mengutip data BPS, Indonesia mengimpor 407.741 ton beras pada 2021. Nilai ini naik dari 356.286 ton pada 2020.
Editor: Ranto Rajagukguk