CIPS: Industri Farmasi Perlu Berubah ke Industri Berbasis Inovasi

marketeers article
CIPS: Industri Farmasi Perlu Berubah ke Industri Berbasis Inovasi (FOTO: 123RF)

Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai Indonesia merupakan negara dengan potensi besar untuk menjadi basis industri farmasi di wilayah Asia Tenggara. Untuk mencapai hal tersebut, industri ini perlu beralih menjadi industri berbasis inovasi.

“Indonesia perlu memilih kebijakan industri yang tepat dan memperhatikan faktor-faktor yang mendukung kesuksesan hal tersebut. Misalnya menambah anggaran riset dan pengembangan serta menggunakan fleksibilitas pada Hak Kekayaan Intelektual (HKI),” kata Associate Researcher CIPS, Ronald Tundang dalam siaran persnya, Selasa (24/1/2023).

Indonesia merupakan salah satu proponen pengusul obat dan vaksin COVID-19 sebagai komoditas publik melalui dukungannya atas pengecualian perlindungan hak atas kekayaan intelektual untuk obat dan vaksin COVID-19 berdasarkan Perjanjian Hak atas Kekayaan Intelektual yang berhubungan dengan Perdagangan (Trade-related Intellectual Property Rights Agreement/TRIPs). Pemerintah telah mengambil kebijakan untuk mendorong kemandirian industri farmasi, khususnya dalam produksi bahan baku obat (BBO), misalnya TKDN. 

Pemerintah juga mewajibkan penggunaan produk dalam negeri untuk pengadaan barang dan jasa, termasuk melalui skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

BACA JUGA: Perluas Inovasi, Pyridam Farma Akuisisi PT Ethica Industri Farmasi

Kebijakan kedua adalah insentif fiskal, seperti pengurangan pajak dan pembebasan bea masuk bagi perusahaan farmasi yang akan memproduksi BBO. Pemerintah perlu mempersiapkan kebijakan yang dapat digunakan dalam kondisi normal dan kondisi mendesak semisal pandemi

Kebijakan industri, seperti TKDN dan insentif untuk industri BBO, dapat menambah harga obat dalam kondisi mendesak. Harga obat yang terjangkau dan kemandirian industri farmasi merupakan dua tujuan penting namun berbeda. 

Harga obat yang terjangkau dapat dicapai melalui impor BBO, sesuatu yang bertentangan dengan kemandirian industri farmasi. Kemandirian industri farmasi dalam jangka panjang memang dapat membuat harga obat terjangkau. 

Namun, hal ini tidak mudah karena dibutuhkan kapabilitas riset dan pengembangan yang tinggi. Ronald menyampaikan ada beberapa opsi untuk mengembangkan industri farmasi yang dapat diambil Indonesia.

“Pertama, Indonesia bisa mengikuti jejak India dan China dengan memproduksi obat generik atau Indonesia bisa juga mengikuti jejak Amerika Serikat dan Swiss menjadi pusat pengembangan riset dan teknologi. Sejauh ini Indonesia belum memiliki posisi yang jelas mengenai hal ini,” ujar Ronald.

BACA JUGA: Merek Harus Berani Minta Maaf, Belajar dari Kejadian Bumame Farmasi

Jika Indonesia memilih opsi pertama, maka strategi yang perlu disiapkan adalah identifikasi obat paten yang akan segera habis masa berlakunya. Provisi ini membolehkan produsen obat generik di Indonesia untuk meminta izin pemasaran menggunakan obat paten yang masih berlaku. 

Provisi Bolar ini juga berlaku untuk opsi kedua. Banyak negara menggunakannya untuk kepentingan riset dan pengembangan.

Indonesia belum menjadi pilihan karena belum ada basis industri BBO serta kapasitas riset dan pengembangan yang masih rendah. Pemerintah juga sebaiknya meningkatkan kapasitas riset dan mengembangkan skala industri farmasi. 

Hal ini dapat dicapai melalui peningkatan anggaran riset dan pengembangan. Saat ini, anggaran riset dan pengembangan Indonesia merupakan yang terkecil di G-20, yakni 0,2% dari GDP.

Editor: Ranto Rajagukguk

Related

award
SPSAwArDS