Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai penggunaan Innovative Credit Scoring (ICS) turut berperan dalam memperluas inklusi keuangan di Indonesia. Alasannya, karena memberikan kesempatan kepada nasabah yang tidak memiliki credit worthiness atau kelayakan kredit untuk mengakses layanan keuangan.
“Di Indonesia, rumah tangga berpendapatan rendah dan UKM dihadapkan dengan tantangan dalam mengakses kredit dari bank dan lembaga keuangan lainnya karena adanya keterbatasan data terkait riwayat kredit, agunan, dan bukti resmi pendapatan mereka,” kata Head of Economic Opportunities Research CIPS, Trissia Wijaya dalam keterangannya, Kamis (11/5/2023).
Survei OJK 2022 menunjukkan, di tingkat nasional, indeks inklusi keuangan mencapai 84,2%, meningkat dibandingkan dengan survei serupa pada 2013 yang mana indeks inklusi keuangan berada di 76,19%. Walaupun terjadi peningkatan yang cukup tinggi, Trissia menyebut inklusi belum menyentuh sebagian besar masyarakat Indonesia yang berpenghasilan rendah.
ICS mengukur kelayakan kredit calon nasabah yang memiliki keterbatasan dalam mengakses layanan keuangan dengan menggunakan kecerdasan buatan (artificial intelligence), pembelajaran mesin (machine learning) dan data non-tradisional, seperti data media sosial, transaksi e-commerce dan data tagihan rumah tangga. Model bisnis ICS melibatkan penyedia layanan ICS yang membuat kontrak dengan lembaga keuangan, fintech ataupun tradisional, sebagai klien dan sebagai pengguna data yang menyimpan dan mengontrol tujuan serta pemrosesan data pribadi.
BACA JUGA: CIPS: Regulatory Sandbox Jadi Solusi Evaluasi Kebijakan Digital
Dapat dikatakan, ICS berperan seperti aplikasi pengolah data pihak ketiga dan menilai kelayakan konsumen menggunakan metode anonimitas. ICS juga memfasilitasi soft credit yang mendukung transaksi “beli sekarang, bayar nanti” atau paylater tanpa kepemilikan kartu kredit dan skema kredit formal.
Transaksi keuangan, seperti ini tidak dapat dimungkiri menambah minat nasabah dan pada akhirnya meningkatkan volume penjualan.
“Layanan ini menyasar pekerja harian dengan akses kredit terbatas untuk melakukan pembelian. Ada keleluasaan yang ditawarkan sehingga mereka bisa mengatur keuangannya sesuai dengan kebutuhan,” ujar Trissia.
Meski demikian, ada beberapa risiko yang mengikuti penggunaan ICS, seperti penggunaan data pribadi dan bias dalam algoritma. Untuk itu, dibutuhkan regulasi yang memberikan kejelasan mengenai peran dan tanggung jawab dari penyedia dan pengguna data.
Penelitian CIPS terbaru merekomendasikan beberapa hal dalam menyikapi semakin pesatnya penggunaan layanan ICS di Indonesia. Pertama adalah, OJK perlu menilai kembali keefektifan program Regulatory Sandbox dan memberi kejelasan tentang bagaimana perusahaan yang “direkomendasikan” dapat keluar dari sandbox untuk memasuki pasar fintech secara lebih luas.
Skema Regulatory Sandbox telah dilaksanakan selama empat tahun sejak POJK 13/2018 diberlakukan. Penilaian atas kepatuhan perusahaan ICS dalam hal manajemen risiko-risiko yang melekat pada layanan ini, termasuk risiko privasi data dan teknologi, dilakukan melalui Regulatory Sandbox dan fungsi regulasi mandiri dari AFTECH.
BACA JUGA: CIPS: Aktivitas Digital Perlu Diimbangi Efisiensi Energi Pusat Data
Selama dalam masa uji coba sandbox, perusahaan ICS wajib mengadopsi prinsip-prinsip penilaian mandiri dan menyampaikan laporan pemantauan mandiri secara rutin dan berkolaborasi dengan OJK dalam menilai bisnis ini. Meski telah melibatkan proses yang kompleks seperti ini, skema Regulatory Sandbox tampaknya belum dapat mengikuti perkembangan kebutuhan regulasi sektor ICS.
Selanjutnya, OJK perlu mengembangkan mekanisme pembagian data yang terintegrasi antara ICS dan biro kredit tradisional di Indonesia, serta panduan operasional (toolkit) atau informasi dasar mengenai strategi-strategi pembagian data. Penyedia layanan ICS dapat beroperasi di berbagai bidang sektor, misalnya dalam kolaborasi dengan biro kredit swasta.
Kegiatan ini bisa jadi tidak sesuai dengan ruang lingkup Regulatory Sandbox. Trissia melanjutkan pemerintah perlu memprioritaskan pembentukan lembaga perlindungan data pribadi (PDP) selama masa transisi UU PDP.
Lembaga ini dibutuhkan untuk melakukan pemeriksaan secara rutin terhadap semua pihak yang terlibat dalam ICS, khususnya terkait data yang digunakan dan dibagikan oleh pengendali dan pengguna data.
Editor: Ranto Rajagukguk