CIPS: Inovasi Dorong Pemulihan Ekonomi, Namun Terkendala Anggaran
Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai kebijakan yang mendukung terciptanya inovasi dapat mendukung upaya untuk pemulihan ekonomi. Namun, kegiatan berbasis inovasi masih terkendala minimnya anggaran.
“Kegiatan berbasis inovasi masih terbilang kurang di Indonesia. Salah satu yang menghambat hal ini adalah keterbatasan anggaran untuk riset dan kurangnya insentif yang tersedia, yang mendukung terciptanya inovasi,” kata Trissia Wijaya, Head of Economic Opportunities CIPS dalam siaran persnya, Rabu (30/11/2022).
BACA JUGA: Ada Resesi Global, Kredivo Pastikan Bisnis Paylater Tetap Tumbuh
Anggaran untuk penelitian dan pengembangan (research and development) di Indonesia masih terbilang sedikit, yaitu kurang dari 1% PDB. Jumlah ini lebih kecil dibandingkan anggaran serupa yang berjumlah di atas 2% yang dilakukan Cina, Amerika Serikat (AS) dan Singapura.
Selain itu, kurang maksimalnya sinergi Triple Helix (pemerintah, universitas, dan industri) dalam pengembangan penelitian juga berdampak pada inovasi di Indonesia. Padahal perlu diingat bahwa ekosistem inovasi yang kuat membutuhkan partisipasi swasta yang signifikan dan sinergi tiga sektor ini secara berkesinambungan.
BACA JUGA: Dalam Brand Storytelling, Jadikan Pelanggan Anda Hero
Selama ini, umumnya lembaga pemerintah dan badan usaha milik negara (BUMN) yang difokuskan untuk melakukan penelitian dan pengembangan. Namun, Trissia meragukan pemerintah dan BUMN memiliki intensi yang sama seperti perusahaan swasta ketika melakukan inovasi untuk menjaga keberlangsungan bisnis.
Faktor berikutnya yang mempengaruhi inovasi adalah kebijakan kandungan lokal atau Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang berubah-ubah. Keharusan untuk menggunakan bahan baku lokal memang memiliki intensi yang baik.
Namun, kualitas dari bahan baku ini harus sesuai dengan yang diharapkan investor untuk menghasilkan end product yang sesuai dengan standar industrial best practices. Sayangnya, hal ini seringkali belum dapat dipenuhi oleh bahan baku lokal.
Pada saat impor menjadi satu alternatif, kebijakan pemerintah justru mempersulit produsen untuk mendapatkan bahan baku dengan kualitas yang diharapkan.
“Pemerintah juga perlu memastikan regulasi dan perizinan terkait kemudahan berusaha (ease of doing business) dibuat mudah, transparan dan tidak berbelit-belit agar bisa menarik minat investor dalam berbagai kegiatan riset dan inovasi di Indonesia,” ujar Trissia.
Disahkannya Undang-Undang (UU) Cipta Kerja seharusnya mampu turut mendorong inovasi di Tanah Air. Inovasi seharusnya jangan dibiarkan berjalan di tempat dengan karena adanya ketentuan yang membatasi pergerakan sektor ini, seperti dari menerima masuknya foreign direct investment (FDI).
Masuknya FDI pada sektor ini akan membawa dampak positif bagi sektor farmasi dalam negeri, seperti pengembangan kegiatan penelitian dan pengembangan dan mendorong munculnya inovasi baru. Sebelum ada UU Cipta Kerja, inovasi di Indonesia sering terhambat oleh adanya kebijakan yang mengharuskan perusahaan asing yang berinvestasi untuk melakukan transfer teknologi.
Namun, karena teknologi membutuhkan adanya jaminan untuk hak atas kekayaan intelektual, maka Indonesia menjadi tidak menarik di mata investor. Trissia kembali mengingatkan kalau kebijakan ini dapat mengalihkan orientasi perusahaan dan industri dalam negeri kepada ekspor dan pasar internasional.
Menguasai pasar dalam negeri memang penting tetapi kalau hal itu didapat dengan mengorbankan inovasi, maka kualitas dari produk yang dihasilkan tidak akan meningkat dan konsumen sebagai end-user yang secara tidak langsung harus menanggung beban biaya produksi. Implementasi hak atas kekayaan intelektual dan property rights secara umum dapat mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi karena ada jaminan atas kepastian hukum di dalamnya.
Perlindungan atas objek yang lahir dari intelektualitas manusia juga merupakan pengakuan atas karya seseorang atau sebuah kelompok.
Editor: Ranto Rajagukguk