Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai larangan ekspor memberi dampak negatif ke hilirisasi. Kebijakan hilirisasi yang dicanangkan pemerintah merupakan langkah positif untuk meningkatkan daya saing industri dalam negeri dan membuka peluang Indonesia untuk terintegrasi ke dalam rantai nilai global atau Global Value Chain (GVC).
“Sementara itu pelarangan ekspor akan berdampak negatif untuk kita, seperti memunculkan risiko balasan atau retaliasi dari mitra dagang. Pasar komoditas internasional juga akan bergejolak karena supply yang ada tidak bisa memenuhi demand,” kata Peneliti CIPS Hasran dalam keterangannya, Rabu (22/2/2023).
Hasran melanjutkan kebijakan pelarangan ekspor, yang pernah terjadi di crude palm oil (CPO) akan memengaruhi perdagangan Indonesia secara umum di komoditas lainnya. Kebijakan proteksionis bukanlah jawaban atas upaya pemulihan ekonomi yang sedang dijalankan Indonesia.
BACA JUGA: Infobip: Customer Experience Penting untuk Perusahaan Kompetitif
Di saat risiko kebijakan proteksionis semakin besar pada masa pandemi, keterlibatan negara di dalam GVC justru perlu diperkuat. Sementara itu, hilirisasi, sebuah proses meningkatkan nilai tambah suatu komoditas dengan mengubahnya menjadi barang jadi atau setengah jadi, akan membutuhkan bahan baku seutuhnya dari dalam negeri atau bisa juga menambahkan komponen dari luar negeri (impor).
Hilirisasi akan membuka peluang kerja, meningkatkan nilai ekspor (memperbaiki neraca perdagangan dan menambah devisa), dan menarik investasi. Bagi komoditas nikel dan bauksit, investasi yang akan masuk adalah perusahaan-perusahaan smelter.
Sayangnya, hilirisasi yang dicanangkan Indonesia saat ini adalah hilirisasi yang dibarengi dengan pelarangan ekspor komoditas terkait. Hilirisasi pada dasarnya membutuhkan modal yang sangat besar, terutama dalam pembangunan smelter.
BACA JUGA: V-KOOL Discovery Page Jadi Langkah Perkuat Jaringan Pelayanan
Memaksa perusahaan-perusahaan yang ada untuk membangun smelter akan membebani mereka dengan keuangan yang besar. Di saat yang bersamaan, mereka juga menghadapi potensi kerugian.
Besarnya biaya yang perlu dikeluarkan untuk pembangunan smelter akan mendorong adanya monopoli, karena hanya perusahaan besar dan kuat secara finansial saja yang mampu membangun smelter.
“Hilirisasi yang ideal adalah meningkatkan nilai tambah komoditas dalam negeri, dengan cara mengubahnya menjadi barang jadi atau barang antara. Namun, apabila ada perusahaan yang masih mau mengekspor bahan mentah maka hal tersebut tidak boleh dilarang,” ucapnya.
Salah satu caranya adalah dengan memberikan insentif fiskal maupun subsidi bagi perusahaan yang mau melakukan hilirisasi. Apabila insentifnya menarik, perusahaan yang ada saat ini akan terdorong untuk membangun smelter, investor baru akan datang untuk mendukung hilirisasi. Di saat yang sama, perusahaan yang hanya mampu mengekspor bahan mentah juga tetap mampu untuk beroperasi.
Editor: Ranto Rajagukguk