Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai kesenjangan antara literasi dan inklusi keuangan perlu terus diperkecil untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap industri jasa keuangan. Dalam jangka panjang dikhawatirkan terjadinya pemilihan produk jasa keuangan yang terbatas pada beberapa produk tertentu saja sehingga tujuan untuk mengarahkan masyarakat ke perencanaan keuangan, stabilitas keuangan, kesehatan keuangan dalam upaya mencapai financial wellness menjadi terbatas.
“Kesenjangan antara literasi dan inklusi keuangan menyebabkan masyarakat berisiko membuat keputusan keuangan yang salah termasuk di antaranya adalah penggunaan produk jasa keuangan yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan tujuan finansial,” kata Senior Fellow Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Kartina Sury.
Literasi keuangan adalah aspek fundamental dari perlindungan konsumen yang dapat mengembangkan serta meningkatkan kepercayaan kepada industri jasa keuangan. Literasi keuangan mendukung pengguna produk jasa keuangan untuk melakukan pengambilan keputusan penting (informed decision) terkait pengelolaan keuangan pribadi yang dapat mendukung tercapainya financial wellness.
OJK telah memaparkan data, inklusi keuangan di wilayah perkotaan mencapai 86,7%. Sementara itu, pencapaian di perdesaan baru mencapai 82,7%. Dengan demikian, terdapat kesenjangan 4,0% antara desa dan kota.
BACA JUGA: CIPS: Sistem Pembayaran Inklusif Percepat Transformasi Digital
Sementara itu, literasi keuangan di perkotaan mencapai 50,5% dan desa 48,4% dengan kesenjangan sebesar 2,1%. Pada 2019, gap inklusi keuangan desa-kota mencapai 15,1% dan gap literasi keuangan menyentuh 6,9%.
Survei terakhir pada 2019 menunjukkan, inklusi keuangan yang mencapai 76% tidak sebanding dengan literasi keuangan yang masih di angka 38%. Artinya, masyarakat sudah banyak mengakses jasa dan produk keuangan tanpa adanya pemahaman yang memadai tentang jenis serta risiko dari masing-masing produk dan layanan keuangan.
Oleh karena itu, Kartina menegaskan kesenjangan antara literasi dan inklusi keuangan perlu diatasi secara bersama-sama, tidak hanya oleh pemerintah dan pelaku industri jasa keuangan, tetapi juga oleh pelaku industri lainnya yang turut memasarkan produk jasa keuangan. Kesenjangan ini juga berdampak membuat masyarakat pengguna rentan terhadap keputusan keuangan yang berisiko, menanggung terlalu banyak hutang, atau bahkan menjadi korban produk investasi bodong.
Hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap jasa keuangan dapat menghambat pertumbuhan sektor keuangan.
BACA JUGA: Ramai Investasi Bodong, Polri Update Kasus Sepanjang Tahun 2022
Tidak hanya literasi keuangan, masyarakat pun perlu mendapatkan edukasi mengenai literasi digital. Pandemi Covid-19 tidak hanya mengakselerasi pertumbuhan ekonomi digital tetapi juga telah memacu peningkatan kegiatan masyarakat pada ranah digital, termasuk layanan dan transaksi produk jasa keuangan.
Adopsi layanan dan produk jasa keuangan melalui sarana digital tentunya perlu diikuti dengan peningkatan literasi keuangan digital masyarakat. Hal ini penting supaya mereka bisa menggunakan aplikasi digital untuk penggunaan produk jasa keuangan digital yang tepat sesuai kebutuhan perencanaan keuangan, bukan hanya berdasarkan permasalahan keuangan.
Terdapatnya integrasi antara literasi dan produk keuangan dapat mendukung tercapainya peningkatan kualitas hidup masyarakat Indonesia. Program edukasi keuangan yang konsisten dan menjangkau berbagai lini segmen dan kelas ekonomi di masyarakat sangatlah dibutuhkan.
Hal ini untuk memastikan agar masyarakat dapat menggunakan produk dan layanan jasa keuangan yang tepat sesuai dengan kebutuhan dan tujuan keuangannya.
Editor: Ranto Rajagukguk