Indonesia dapat memanfaatkan potensi Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) untuk membangun ekosistem kendaraan listrik (Electric Vehicles-EV) berbasis baterai di dalam negeri. Kerja sama antarnegara ini dapat mendorong nilai investasi terkait EV.
“RCEP merupakan kerjasama ekonomi regional antar negara-negara ASEAN+1 yaitu ASEAN, Australia, Cina, Selandia Baru, Jepang, dan Korea Selatan. Salah satu klausul yang diatur dalam kerjasama ini adalah mobilisasi investasi antar sesama negara anggotanya,” kata Hasran, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) dalam keterangannya, Senin (27/3/2023).
Hasran melanjutkan RCEP akan membuka kesempatan yang lebih besar bagi Indonesia untuk terhubung dengan global value chains atau rantai nilai global. RCEP dapat mendorong masuknya investasi, baik dari luar (foreign direct investment/FDI) maupun dari dalam negeri (domestic investment) ke sektor manufaktur yang dirancang memanfaatkan kawasan RCEP.
BACA JUGA: Laris di IIMS 2023, Yadea Mulai Kirim Kendaraan Listrik ke Konsumen
Cina dan Korea Selatan adalah pasar utama kendaraan listrik di regional RCEP. Dari 6,6 juta unit penjualan kendaraan listrik, pada tahun 2021, penjualan tertinggi terjadi di Cina (3,3 juta unit), dan diikuti oleh Eropa (2,3 juta), serta AS (630,000).
Menurutnya, kemudahan mengurus surat keterangan asal barang (SKA), serta pemberian tarif preferensi dalam skema RCEP dapat menjadi daya tarik produsen EV maupun baterai listrik global. Apalagi, cadangan nikel dan kobalt yang digunakan sebagai bahan baku baterai listrik sangat melimpah di Indonesia.
Selain itu, posisi Indonesia dalam pasar kendaraan listrik masih sangat kecil namun berpotensi besar untuk terus berkembang. Apalagi, di Indonesia pengembangan kendaraan listrik menjadi semakin urgen seiring dengan isu perubahan iklim yang kian menjadi prioritas pengambil kebijakan.
Pada tahun 2019, hanya 812 unit kendaraan listrik yang terjual di Indonesia. Tiga tahun berselang, penjualan ini meningkat menjadi 15.437 unit atau meningkat sebesar 1.801%.
Pada tahun 2022, Indonesia sudah memiliki empat perusahaan bus listrik, tiga perusahaan mobil listrik, serta 35 perusahaan roda dua dan tiga listrik. Dengan total investasi yang masuk sebesar Rp 1,92 triliun pada tahun yang sama, Indonesia sudah mempunyai kapasitas produksi yang memadai dan cukup berkembang dibandingkan negara ASEAN lainnya.
Perkembangan ini, tidak terlepas dari langkah-langkah inisiatif yang ditempuh oleh pemerintah dalam empat tahun terakhir. Pada tahun 2019, Indonesia menerbitkan Perpres Nomor 55/2019 tentang percepatan program kendaraan bermotor listrik berbasis baterai.
BACA JUGA: Periklindo: Insentif Pacu Penggunaan Kendaraan Listrik di Indonesia
Indonesia masih memiliki beberapa pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, seperti meningkatkan penelitian dan pengembangan serta pelatihan SDM di sektor kendaraan listrik. Untuk membiayai keduanya, mengandalkan APBN saja tidak cukup.
Perlu ada skenario insentif yang lebih baik agar perusahaan kendaraan listrik juga mau melakukan kegiatan dan menyediakan pelatihan bagi pekerjanya maupun pihak luar. Selain itu, Indonesia perlu menetapkan prioritas utama dan fokus pada prioritas tersebut.
Indonesia perlu menentukan apakah ingin menjadi produsen baterai listrik, produsen kendaraan listrik ataukah keduanya. Baterai adalah komponen utama dari kendaraan listrik dengan sumbangsih 35% dari keseluruhan biaya manufaktur EV.
Rantai nilai yang dimiliki oleh baterai listrik saja sudah sangat kompleks mulai dari penambangan dan pemurnian bahan baku, manufaktur komponen, manufaktur satuan sel baterai, dan perakitan baterai. Ini belum termasuk manufaktur kendaraan listrik yang punya rantai produksinya sendiri hingga daur ulang EV.
Masing-masing mata rantai ini bisa menghabiskan triliunan rupiah untuk aspek penelitian dan pengembangan yang memang penting untuk dilaksanakan.
Editor: Ranto Rajagukguk