CIPS: Tiga Hal dalam Ekonomi Digital 2022 Masih Jauh Dari Harapan
Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyampaikan tiga hal dalam ekonomi digital yang perlu dijadikan bahan evaluasi untuk menutup tahun 2022. Tiga hal tersebut, yakni inklusi digital dan keuangan, pemerataan konektivitas internet dan infrastruktur digital, serta perlindungan data pribadi.
Trissia Wijaya, Head of Economic Opportunities Research CIPS menyebut kesenjangan antara inklusi digital dan inklusi keuangan membuat peluang ekonomi belum dapat dinikmati di seluruh wilayah Indonesia. Pulau Jawa berkontribusi 76% aktivitas dalam e-commerce.
Sementara itu, aktivitas digital dari masyarakat di daerah non-metropolitan Indonesia, yang menampung 45% dari populasi negara, masih tertinggal tiga hingga lima tahun dari kota-kota besar. Sekitar 12.500 desa di Indonesia masih belum memiliki koneksi 4G, yang mengakibatkan terbatasnya akses ke berbagai fitur online dan dompet digital yang mengarah pada inklusi keuangan yang lebih besar.
Kesenjangan digital juga lebih banyak terjadi pada perempuan, yang rata-rata memperoleh tingkat pendidikan yang lebih rendah dibandingkan laki-laki.
BACA JUGA: Tahun 2022, Nilai Ekonomi Digital RI Bisa Tembus US$ 77 Miliar
Kesenjangan ini dapat dilihat dari Indeks Daya Saing Digital atau IMD di 2022 yang menempatkan Indonesia di peringkat 53 dari 63 negara, jauh lebih buruk daripada rekan-rekannya di Asia Tenggara. Kecepatan internet yang lambat dan penetrasi broadband yang rendah adalah beberapa rintangan utama.
Penetrasi fixed broadband baru menjangkau 15% rumah tangga di Tanah Air. Sementara itu, masih ada 13 provinsi di Indonesia Timur, seperti Papua, Maluku, dan Sulawesi, yang hampir tidak memiliki fixed broadband.
Trissia juga menyebut biaya untuk fixed broadband seluler mahal bagi sekitar 10,2% penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan dan karena itu tidak mampu mengakses internet. Keterjangkauan dan ketersediaan infrastruktur TIK tetap menjadi tantangan.
“Peraturan dan kebijakan industri yang tidak jelas, insentif, kekhasan lokal seperti intervensi pemerintah daerah dan kepentingan sektoral, serta vandalisme cenderung menghalangi sektor swasta untuk berinvestasi. Ada kebutuhan untuk lebih banyak klarifikasi peraturan dan intervensi pemerintah pusat dalam hal ini,” ujar Trissia dalam siaran persnya, Senin (26/12/2022).
Selain kesenjangan dan infrastruktur, Trissia juga menyebut perlindungan konsumen ekonomi digital, terutama terkait data pribadi, juga masih jauh dari harapan. Walaupun DPR sudah mengesahkan UU Perlindungan Data Pribadi (PDP) Nomor 27 Tahun 2022 yang mengatur persyaratan pemrosesan data dan hak pribadi masih ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian. Salah satunya terkait independensi lembaga tersebut.
BACA JUGA: Generasi Muda Diminta Ambil Peran Kembangkan Ekonomi Digital
Entitas yang memiliki atau mengolah data diberikan tenggang waktu dua tahun untuk mematuhi peraturan tersebut. Namun, ada kekhawatiran terhadap netralitas dan independensi lembaga pengawas perlindungan data yang akan ditunjuk oleh Presiden.
“Independensi lembaga yang bertanggung jawab kepada Presiden ini patut dipertanyakan saat mereka menangani masalah yang melibatkan lembaga pemerintah. Lembaga ini idealnya independen dan tidak berafiliasi dengan lembaga manapun,” ujarnya.
Penunjukan seperti itu menimbulkan risiko bahwa badan eksekutif dapat menjaga lembaga tersebut dengan ketat, mencegahnya bertindak tegas terhadap lembaga publik yang tidak patuh yang mengontrol dan memproses data pribadi. Selain itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) masih memiliki banyak pekerjaan rumah untuk membuat peraturan pelaksanaan dari undang-undang tersebut.
Editor: Ranto Rajagukguk