Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) RI mengatakan bahwa coverage gap atau kesenjangan keterjangkauan sinyal telekomunikasi di Indonesia masih tinggi, terutama di daerah rural alias pedesaan. Rasio perbandingan antara luas pemukiman yang terjangkau dengan luas wilayah yang terjangkau mencapai 46% lebih.
Aju Widya Sari, Direktur Telekomunikasi, Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kementerian Kominfo menjelaskan bahwa luas pemukiman di Indonesia yang terjangkau sinyal 4G mencapai 96,84%. Tetapi luas wilayah Indonesia yang terjangkau sinyal 4G baru mencapai 50,79%. Kesenjangan sebesar 46% lebih tersebut bersumber dari area pedesaan dan area remote alias 3T (tertinggal, terdepan, terluar).
“Kami melakukan evaluasi desa-desa yang membutuhkan sinyal ini, ternyata persoalannya bukan hanya soal akses yang sulit, tapi juga risikonya cukup tinggi,” kata Aju dalam diskusi Polemik Layanan Telepon dan Internet Satelit, Siapa Untung Siapa Buntung? yang digelar Selular di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (27/11/2023).
BACA JUGA: Starlink Masuk Indonesia Disebut Asosiasi Bikin Gelisah Pasar
Ada tiga alasan utama yang disebut Aju perihal mengapa coverage gap di Indonesia begitu tinggi. Biaya yang tinggi, revenue rendah, dan risiko tinggi.
Dari perbandingan yang dipaparkan Aju, daerah pedesaan dan daerah remote memiliki jumlah pengguna per sumber jaringan masing-masing 60% dan 80% di bawah kawasan urban atau perkotaan. Jumlah pengguna yang lebih sedikit memberikan pendapatan yang lebih sedikit, yakni dengan persentase 80% dan 90% di bawah kawasan perkotaan.
Pendapatan yang sedikit karena jumlah pengguna yang sedikit juga berdampak pada biaya pengelolaan sumber jaringan. Di daerah pedesaan, biaya pengelolaan lebih besar 25% dibandingkan daerah perkotaan, sementara daerah remote lebih besar 100%, atau dua kali lipat biaya pengelolaan di perkotaan.
BACA JUGA: Kominfo Ajak Lawan Hoaks Pemilu 2024 dengan 3 Langkah
Kompleksitas dalam penyediaan jaringan di daerah rural dan remote ini menjadi pintu masuk Starlink, melalui Telkomsat, anak usaha Telkom Indonesia untuk penyediaan jaringan di dua jenis area tersebut. Aju melihat pemanfaatan koneksi satelit orbit rendah mampu mengatasi masalah pengadaan jaringan di area yang notabene menguras kocek.
“Karena memang, dengan kapasitas yang terbatas, dengan harga yang sama tinggi, buat operator itu berat,” kata Aju.
Meski Starlink diizinkan beroperasi di bawah payung business-to-business (B2B), izin usaha yang diberikan kepada anak bisnis milik Elon Musk belum sampai ke tingkat ritel.
“Namun, untuk penyediaan satelit ini, kami perlu banyak melakukan pendekatan. Pendekatan dalam hal, apakah teknologi satelit ini, bisa sepenuhnya mewakili persaingan yang sehat di Indonesia,” pungkas Aju.
Masuknya Starlink ke pasar telekomunikasi Indonesia, meski baru sampai ranah B2B, sudah menimbulkan gejolak dari pelaku industri yang ada.
Pelaku industri menilai, bila unit bisnis ini diberikan karpet merah, maka hal tersebut akan menciptakan kondisi persaingan yang tidak adil, bila tak diiringi dengan penggolongan bisnis yang setara dan beban yang sama seperti yang dipikul pelaku lainnya.
Editor: Muhammad Perkasa Al Hafiz