E-commerce lintas batas atau cross border e-commerce menjelajar bak air. Diam-diam, ia memperoleh momentum besar ketika media sosial berhasil memperkenalkan produk-produknya ke mata miliaran orang di seluruh dunia.
Twitter, Instagram, dan Facebook mulai beralih fungsi, dari sebatas hanya media narsis, menjadi platform mujarab mengais rezeki. Siapa sangka, social commerce atau belanja lewat media sosial -termasuk para jastip– nilai transaksinya menembus US$ 3 miliar, menurut laporan McKinsey tahun 2017.
Brand atau pebinis kelas UKM yang tidak memliliki modal besar untuk melakukan ekspansi pasar, memanfaatkan media sosial itu untuk menggaet konsumen di luar wilayahnya. Coba tengok feeds Instagram Anda sekarang, mulai bermunculan iklan-iklan yang menawarkan produk fesyen dan personal care. Namun, setelah diklik ke halaman akun tersebut, ternyata mereka bukan berasal dari dalam negeri.
“Kebanyakan mereka menjual produk sehari-hari yang lebih ringan, seperti makanan, fesyen, dan produk perawatan tubuh,” kata Donny Wardhana, Chief Strategy & Corporate Planning Sicepat Ekspres ketika ditemui Marketeers, Selasa, (9/10/2018).
Ia mendefinisikan cross border e-commerce sebagai perdagangan daring antara bisnis -baik UKM atau brand– dengan konsumen akhir (B2C), atau bisa juga antara dua entitas bisnis (B2B). “Bisa pula antara dua individu atau C2C, seperti yang terjadi pada platform Amazon atau eBay,” kata dia.
Cross border e-commerce disebut-sebut aka menjadi tren perdagangan online tahun 2019 di mana konsumen lokal dapat berbelanja produk-produk “asing” yang tidak secara langsung dipasarkan di dalam negeri. Begitupun dengan konsumen dari negara lain yang bisa berbelanja produk di Indonesia, tanpa harus mengunjunginya.
Konsultan teknologi dan bisnis Accenture menyatakan, pada tahun 2020, lebih dari dua miliar e-shoppers akan bertransaksi secara cross border. Kontribusinya mencapai 13,5% dari keseluruhan konsumsi ritel online global dengan nilai pasar mencapai US$ 3,4 triliun.
Asia Pasifik, menurut data tersebut, akan mengalami pertumbuhan terbesar dibandingkan dengan pasar wilayah lain, seperti Amerika atau Timur Tengah. Pasalnya, jika dilihat pada tahun 2014, pembelian barang secara online dari lintas wilayah di Asia Pasifik (B2C cross border e-commerce) hanya sebesar 12%. Namun, pada tahun 2020, persentasenya diprediksi meningkat menjadi 31%.
“Dengan 250 juta penduduk, Indonesia adalah target besar bagi para pemain e-commerce lain untuk memasarkan produknya di sini. Namun, pertanyaannya, mampukah kita menjual produk kita ke luar negeri melalui e-commerce?,” tanya Wakil Presiden Kamar Dagang Indonesia Vincent Gowan.
Dia juga mengatakan, seharusnya, para pemain e-commerce Indonesia mendorong cross border e-commerce. Sehingga UKM yang menjadi mitranya bisa menjual produknya ke luar negeri. Apabila nominal transaksinya besar, setikdaknya ekspor produk dalam negeri meningkat.
“Jangan mikirnya hanya market Indonesia saja. Lewat e-commerce, kita harus ke luar, setidaknya menargetkan 600 juta warga ASEAN,” terang dia.
Laporan menyatakan bahwa pasar e-commerce di Asia Tenggara akan mencapai US$ 200 miliar pada tahun 2025 dengan pertumbuhan CAGR sebesar 32%. Dengan 600 juta potensi konsumen yang mana 260 juta di antaranya adalah pengguna internat aktif menjadikannya ASEAN sebagai pasar gemuk.
Dengan demikian masuk akal jika Amazon dan Alibaba telah meningkatkan minat mereka di bidang ini dengan membuka kantornya di sejumlah negara ASEAN.
Tiga Tantangan
Setidaknya ada tiga tantangan yang mesti dihadapi setiap stakeholder dalam menjalani cross border e-commerce. Pertama, fraud atau penipuan. Bisa dibilang, ini adalah tantangan terbesar yang dihadapi oleh pedagang. Sebab, calon pembeli mereka adakah orang yang berada di luar perbatasan negara. Sehingga, penting untuk mengetahui perilaku pelanggan dan menyediakan layanan pembayaran yang baik.
Kedua, logistik juga sama pentingnya. Ia dapat berdampak negatif terhadap persepsi pelanggan ketika ia tak mampu memenuhi harapan dan ekspektasi mereka.
“Ini menjadi tantangan cross border bagaimana barang sampai tepat waktu untuk memenuhi janji konsumen,” ujar Donny Wardhana.
Keempat adalah soal regulasi. Pemain harus paham regulasi yang ada di masing-masing neagra yang disasar. Dari mulai aturan bea-cukai, izin BPOM, halal, dan lainnya. Bisa saja, produk yang sudah halal di Indonesia, belum tentu sertifikasinya bisa diterapkan di negara lain. Banyak kasus yang mana barang tersebut harus disertifikasi ulang oleh otoritas setempat.
Editor: Sigit Kurniawan