Topik ekonomi sirkular saat ini menjadi topik yang dibahas di banyak kesempatan, khususnya bila dikaitkan dengan kelestarian lingkungan. Topik ini juga diangkat dalam webinar Pekan Diplomasi Program Iklim yang bertajuk “Circular Economy & Its Role for Climate Action”, Selasa (12/10/2021).
Program yang digagas oleh Uni Eropa ini membahas pentingnya suatu ekonomi sirkular terhadap sistem ekonomi di seluruh dunia. Jika mengacu pada Laporan tahun 2020 dari Circularity Gap Reporting Initiative(CGRi) disebutkan, ratusan juta ton material telah mengakibatkan kerugian ekonomi global setiap tahunnya. Dari material tersebut, ternyata hanya 8.6% benda yang bisa didaur ulang menjadi berharga secara ekonomi. Praktik linear ini, seperti diungkap Henriette Færgemann, Konselor Pertama – Lingkungan, Aksi Iklim, Digital, Delegasi UNI EROPA untuk Indonesia dan Brunei Darussalam, bila dibiarkan tidak akan mampu menahan laju peningkatan suhu bumi 1.5C seperti yang diharapkan. Sebaliknya, akan meningkatkan suhu menjadi 3.6C.
Perwakilan GIZ Germany Johannes Paul mengatakan Perjanjian Paris telah membuat semua negara setuju untuk menjaga agar tidak terjadi kenaikan suhu bumi dan menahannya maksimal 2C sebagai batas dari pemanasan global. “Rencana NDC berhubungan dengan netral karbon sehingga harus dilaporkan dalam sekali dalam lima tahun,” katanya seperti dikutip dari keterangan resmi panitia Pekan Diplomasi Iklim Uni Eropa 2021.
Johannes menambahkan, ekonomi sirkular memainkan peran sangat penting untuk mengejar target NDC. “Hanya saja setiap negara punya kelemahan dan memiliki gap untuk mencapai hal itu. Setiap negara harus beralih dari energi fosil ke energi baru terbarukan. Termasuk juga mengurangi emisi dari sektor hutan dan lahan,” katanya.
Terkait dengan transisi kepada produksi dan konsumsi yang berkelanjutan (Sustainable Consumption and Production/SCP), perwakilan EU Switch Asia Programme Lorraine Gatlabayan menekankan bawah hal tersebut adalah salah satu elemen kunci untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan. SCP merupakan upaya memenuhi kebutuhan dengan sumber daya yang terbatas, menghasilkan sampah dan polusi yang minim. “SCP sangat berhubungan dengan jejak karbon yang rendah, efisiensi dan ekonomi sirkular,” tegasnya.
Ada banyak cara untuk mewujudkan SCP. Langkah awal SCP ini berpengaruh pada dukungan kebijakan, pergeseran model bisnis, kesadaran konsumen, penggunaan beragam alat seperti desain yang keberlanjutan, sumber daya yang bersih dan efisien, transportasi berkelanjutan, energi yang efisien dan berkelanjutan,ecolebeling, procurement berkelanjutan, lingkungan yang berkelanjutan, gaya hidup berkelanjutan, termasuk manajemen sampah yang berkelanjutan.
Lorraine juga menegaskan bahwa EU Switch Asia Programme hadir untuk memfasilitasi advokasi komponen regional dan program pendek untuk mendukung 24 negara Asia menuju pembangunan rendah karbon dan ekonomi sirkular. “Kami juga menyediakan platform jaringan dan kemitraan antara Uni Eropa dan negara-negara Asia terkait implementasi pelaksanaan strategi SCP yang dilakukan oleh masing-masing negara,” katanya.
Sementara perwakilan Kedutaan Besar Kerajaan Denmark untuk Indonesia Julie B. Appelqvist menegaskan bahwa perubahan iklim dan ekonomi sirkular menjadi agenda penting dari banyak negara di dunia. “Setiap tahun, kami menghasilkan 13 juta ton sampah dan ini terjadi peningkatan sampah satu juta ton sampah setiap tahunnya. Sebagai salah satu negara yang mengambangkan pendekatan ekonomi sirkular, sampah lalu didaur ulang dengan proporsi mencapai 71% hingga membuat sebuah sistem menjadi lebih efisien,” katanya.
Fahrian Yovantra mengatakan bahwa Greenation Foundation telah menggelar agenda rutin tahunan yang diberi nama Indonesia Circular Economy Forum (ICEF) dan bertujuan untuk memperkuat komitmen para pemangku kepentingan dan menghasilkan dokumen rekomendasi dalam mewujudkan implementasi ekonomi sirkular di Indonesia.
“Setiap tahun, Greeneration Foundation menghadirkan stakeholder yang akan membahas isu tertentu, kemungkinan kerja sama di masa depan dan apa yang bisa dilakukan berikutnya,” papar Fahrian.
Indonesia perlu membawa Ekonomi Sirkular ke arah kebijakan negara, melalui Rencana Jangka Panjang dan Rencana Jangka Menengah yang terintegrasi dengan kebijakan ekonomi, lingkungan dan sosial sebagai upaya perwujudan target SDG’s (Sustainable Development Goals).
Sementara itu, pemerintah Indonesia melalui Bappenas pada awal tahun ini telah meluncurkan kegiatan besar yang berisi dokumen terkait pengembangan ekonomi sosial masyarakat. “Dokumen tersebut tidak hanya sebagai langkah awal yang kongkret sebagai strategi nasional menyikapi kegiatan ekonomi sirkular yang melibatkan sektor bisnis, start up bahkan komunitas lokal, universitas di seluruh indonesia,” katanya
Pendekatan ekonomi sirkular sangat diperlukan untuk mendukung bisnis yang berkelanjutan Dilihat dari sektor pengelolaan persampahan saja, kebijakan ekonomi sirkular bisa menumbuhkan ekonomi senilai Rp 101 triliun atau setara 4,1% APBN 2019 dengan dampak yang lebih positif terhadap kualitas lingkungan.