Dunia digital membuat segala aktivitas sebisa mungkin dilakukan melalui piranti mobile. Begitu pun dengan urusan belajar, yang mana mulai banyak platform pembelajaran online membanjiri pasar atau kini disebut sebagai MOOCs.
Apa itu MOOCs? Massive Open Online Courses atau disingkat MOOCs merupakan sistem pembelajaran berupa kursus online secara besar-besaran dan terbuka dengan tujuan agar semua orang dapat berpartisipasi secara tak terbatas melalui web.
Di luar negeri, khususnya negara maju seperti Amerika Serikat, praktik MOOCs sudah hadir sejak satu dasawarsa silam. Teknologi ini diperkenalkan pertama kali pada tahun 2008 oleh Dave Cormier dan Bryan Alexander dari University of Prince Edward Island.
Sejak saat itu, berbagai universitas top di Amerika seperti Georgia Tech, The University of Illinois, dan MIT mulai memperkenalkan platform e-learning tersebut.
New York Times pernah menyebut tahun 2013 sebagai “The year of the MOOC”, ditandai dengan kehadiran berbagai penyedia layanan MOOCs seperti UdaCity, Coursera dan edX yang dibiayai oleh modal ventura dan bekerja sama dengan universitas-universitas terkemuka.
Berbeda dengan bimbingan belajar yang diciptakan untuk memberikan tambahan belajar di luar sekolah bagi para siswanya, MOOCs justru hadir untuk menjawab masalah biaya sekolah yang selau naik saban tahunnya. In almost country in the world, cash is the biggest obstacle standing in the way of students going to college.
Berdasarkan laporan College Board, rata-rata biaya kuliah tahun ajaran 2016-2017 di AS sekitar US$ 33.500 untuk perguruan tinggi swasta, dan US$ 9.650 untuk perguruan tinggi negeri. Bagi mereka yang non Warga Negara Amerika, biayanya lebih tinggi lagi, sekitar US$ 25.000 per tahun.
Uang sebesar itu belum termasuk biaya sewa flat/kamar kos yang rata-rata sebesar US$ 10,000 per tahun. Secara umum, biaya kuliah di AS meningkat jauh lebih cepat ketimbang biaya hidup. Kuliah bagaikan membeli mobil Mercedes baru setiap tahun.
Hal-hal semacam itu saja terjadi di Amerika Serikat, salah satu negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. Pun kondisi yang sama juga dirasakan oleh Negara berkembang, Indonesia.
Karena itu, hadir lah MOOCs yang dianggap mampu memberikan kesempatan bagi para peserta didik agar mendapatkan pendidikan berkualitas tinggi, namun dengan tarif terjangkau.
Konsep MOOCs yang memungkinkan terjadinya transfer ilmu pengetahuan tanpa harus berada di dalam sekat-sekat tembok, sebenarnya mampu menjadi solusi atas visi bangsa dalam pemerataan pendidikan.
MOOCs mampu menjangkau orang di sudut manapun, semasih orang tersebut terhubung dengan internet. Begitu cocok untuk diterapkan di negara kepulauan seperti Indonesia.
Stephen Ng, Founder KelasKita.com, sebuah platform MOOCs non-formal mengatakan, yang terjadi saat ini di dunia e-learning Indonesia adalah demand lebih tinggi ketimbang supply. Artinya, keinginan orang untuk belajar menggunakan MOOCs cukup tinggi, hanya saja konten-konten berformat digital masih belum banyak tersedia.
“Masih banyak konten-konten yang selama ini diajarkan di pembelajaran tradisional belum dikonversi ke format digital,” ujarnya.
Dia melanjutkan, konten-konten yang dibuat sejatinya harus disesuaikan dengan ekosistem digital. Menurutnya, durasi belajar online yang ideal adalah sekira 30-40 menit sehari. “Karena itu, konten tidak boleh terlalu panjang. Mereka harus tahu karakter seseorang di dunia digital,” ujarnya.
Lantas, siapa yang diuntungkan dengan kehadiran MOOCs ini? Yang paling utama adalah para (calon) mahasiswa. Stephen bilang, pasar terbesar MOOCs adalah remaja lulusan SMA yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang strata satu. Akan tetapi, mereka terganjar masalah klasik, yaitu jarak dan biaya studi yang mahal.
Pasalnya, dari sekitar dua jutaan jumlah lulusan SMA per tahunnya, hanya 20% yang melanjutkan studi ke jenjang perguruan tinggi. Karena itu, sambung dia, MOOCs dapat menjadi jalan bagi mereka yang ingin memperoleh kemahiran setara lulusan S1 dengan biaya terjangkau.
Bahkan, saat ini, banyak platform MOOCs yang bekerja sama dengan perguruan tinggi negeri dan swasta dalam memberikan kelas online layaknya mengikuti perkuliahan reguler. Seperti HarukaEdu, yang memungkinkan pesertanya memperoleh gelar sarjana dari universitas dan program studi yang mereka pilih.
Novistiar Rustandi, co-Founder & CEO HarukaEdu mengatakan, saat ini, ada 111 juta angkatan kerja, namun baru delapan juta jiwa yang memiliki gelar sarjana. Sedangkan 30 juta jiwa hanya tamat SMA/SMK dan D3. Besarnya angka lulusan SMA memberikan kesempatan yang baik untuk membuat platform e-learning, sekaligus meraup cuan.
Adapun klien yang bisa diraih oleh platform MOOCs adalah berbagai perguruan tinggi yang ingin memberikan perkuliahan online, namun tak memiliki keahlian di bidang Teknologi Informasi.
“Kami bekali sistem Teknologi Informasinya kepada kampus itu. Mahasiswa yang tergabung akan mendapatkan ijazah dari kampus ia mendaftar,” terang Novistiar menjelaskan skema bisnisnya.
HarukaEdu memdibidik para karyawan sebagai target pelanggannya, yang pada umumnya tidak memiliki waktu melakukan kuliah di kelas lantaran sibuk bekerja. Para peserta yang sudah mendaftar akan dibagi ke dalam kelompok (kelas) yang berisi maksimal sepuluh orang.
Sementara itu, biaya kuliah yang dibebankan per peserta sekitar Rp 515.000 per bulan. Novistiar menilai, biaya ini cukup membantu orang yang ingin memiliki gelar S1 atau S2 dengan gaji skala UMR. “Dari segi siswa, targetnya ada 2.500 orang mendaftar di Harukaedu setiap tahun,” ucapnya.
Lain halnya dengan HarukaEdu, Kelaskita.com menawarkan kelas non-formal, seperti bahasa, desain, pemrograman, dan lainnya. Saat ini ada 330 kelas di dalam 24 subjek kategori berbeda. Masing-masing kelas memiliki jumlah murid yang juga berbeda. KelasKita bertujuan memberikan pendidikan dari dan untuk sesama.
“Harga per kelas mulai dari Rp 31.000 sampai dengan Rp 500.000 per bulan,” ujar Stephen seraya mengatakan bisnisnya itu akan mendapat pelatihan inkubasi dari Indosat Oredoo tahun ini.
Kendati mulai banyak pemain e-learning dengan segala jenisnya, tetap saja pergerakan bisnis MOOCs di Indonesia masih penuh rintangan. Selain soal infrastruktur digital yang telah disinggung sebelumnya, juga menyangkut regulasi yang masih belum jelas. Selama ini, perguruan tinggi yang ingin menawarkan MOOCs harus mengantongi akreditasi minimal B.
“Saya harap, peraturan mengenai pendidikan online jangan serumit pendidikan konvensional. Justru, dibiarkan seterbuka dan sedemokratis mungkin, demi mencapai pendidikan yang inklusif bagi semua kalangan,” terang Stephen.
Editor: Sigit Kurniawan