Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) memperkirakan pada tahun depan masih industri mamin belum bisa menaikkan harga guna melakukan penyesuaian. Hal ini terjadi lantaran daya beli masyarakat yang masih sangat rendah.
Adhi S Lukman, Ketua Umum Gapmmi menuturkan, kenaikan harga sebenarnya sudah sangat mendesak dilakukan lantaran melambungnya bahan baku dan biaya produksi. Sebagian besar bahan baku yang harus diimpor mengalami kenaikan harga lantaran terjadinya kendala rantai pasok dan menurunnya nilai tukar rupiah.
BACA JUGA: Incar Pasar Global, Industri Makanan Nasional Jajaki Kerja Sama dengan Taiwan
“Beberapa komoditas masih ada gangguan dan itu yang menjadi tantangan kami pada tahun depan. Kami sudah berdiskusi dengan teman-teman industri mereka tidak berani menaikkan harga pada tahun depan karena bisa semakin tertekan pertubuhannya,” kata Adhi dalam MarkPlus Conference 2024 di Jakarta, dikutip Jumat (8/12/2023).
Menurutnya, penyebab lemahnya daya beli terjadi lantaran terus melambungnya harga-harga kebutuhan pokok, energi, dan transportasi. Sehingga masyarakat kelas menengah yang merupakan pangsa pasar utama produk makanan dan minuman industri menahan uangnya untuk konsumsi.
BACA JUGA: Industri Makanan Sehat Diperkirakan Jadi Tren pada Tahun 2022
Di sisi lain, untuk mengatasi permasalahan ini, Adhi mendesak pemerintah untuk tidak mengeluarkan aturan yang semakin memberatkan pengusaha. Tujuaannya agar tidak ada biaya tambahan dalam proses produksi.
Tidak hanya itu, efisiensi biaya produksi dan distribusi juga terus dilakukan pengusaha di industri mamin. Langkah ini terus dilakukan untuk menjaga margin.
“Pemerintah pusat dan daerah jangan mengeluarkan aturan yang aneh-aneh. Kami sudah cukup berat dengan tantangan yang ada saat ini,” ujarnya.
Adhi menambahkan, dari sisi pertumbuhan indusri makanan dan minuman atau mamin diperkirakan sampai akhir tahun ini bisa menyentuh angka 4%. Perkiraan merupakan angka yang sangat realistis dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian yang berfluktuasi.
“Pada kuartal III tahun ini, pertumbuhannya hanya 3,28% padahal pertumbuhan ekonominya 4,9%. Biasanya pertumbuhan industri makanan dan minuman lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasonal,” tutur Adhi.
Editor: Muhammad Perkasa Al Hafiz