Di era digital saat ini, mungkin banyak yang beranggapan bahwa masa keemasan media cetak telah lama berlalu. Meskipun internet dan media sosial telah menarik perhatian banyak orang dengan algoritma yang membuat ketagihan, print media belum sepenuhnya ditinggalkan.
“Orang-orang tidak hidup hanya dalam dunia digital. Meskipun saluran online menawarkan kemudahan, saluran offline menawarkan kepercayaan dan mampu menyampaikan pesan emosional dengan lebih kuat,” ujar Kevin Huang, Chief Operating Officer South China Morning Post, dikutip dari tulisan Matthew Keegan di laman CampaignAsia, Kamis (24/10/2024).
Publikasi besar seperti Vogue, Harper’s Bazaar, Esquire, GQ, Time, dan The Economist, masih mencetak edisi fisik mereka setiap bulan. Pada tahun 2024, pendapatan global dari pasar surat kabar dan majalah cetak diperkirakan mencapai US$ 111,60 miliar.
BACA JUGA: Jalan Keluar Media Cetak Agar Tak Pensiun di Era Digital
Bettina Von Schlippe, Penerbit Vogue di Singapura, menekankan bahwa print media tetap menjadi sumber pendapatan penting bagi mereka.
“Meskipun ada sedikit pergeseran ke saluran digital, iklan cetak tetap kuat, didukung oleh penawaran konten tambahan yang memperkaya pengalaman pembaca kami. Relevansi media cetak masih bertahan, menangkap tren masyarakat dan menjadi benda koleksi, mirip dengan artefak budaya populer,” tuturnya.
Namun, tidak semua cerita di dunia print media secerah itu. Pada tahun 2020, lebih dari 100 media regional dan komunitas yang dikelola News Corp di Australia berhenti menerbitkan edisi cetak dan beralih sepenuhnya ke format digital.
Hal serupa terjadi pada Juli lalu, ketika Australian Community Media (ACM), penerbit regional terbesar di Australia, memutuskan menghentikan penerbitan harian beberapa surat kabarnya.
ACM menyebut isu biaya produksi yang tidak lagi layak serta penurunan pendanaan dan perubahan kebiasaan konsumen sebagai alasan utama keputusan tersebut.
BACA JUGA: Telkom Perkenalkan Solusi Digital untuk Industri Media dan Komunikasi
Di Indonesia, fenomena penutupan media cetak juga terjadi, meskipun data pasti mengenai jumlah print media yang bangkrut sulit didapatkan.
Beberapa media cetak besar di Indonesia telah menghentikan penerbitan versi cetaknya dan beralih ke format digital dalam beberapa tahun terakhir, seiring dengan perubahan preferensi konsumen, meningkatnya biaya produksi, dan penurunan pendapatan iklan cetak.
Contoh yang cukup menonjol adalah Harian Bola, yang menghentikan penerbitannya pada 2018 setelah lebih dari 30 tahun beroperasi.
Kemudian, pada tahun 2017, Majalah Hai, yang dikenal luas sebagai majalah remaja laki-laki, juga berhenti mencetak edisi fisiknya dan beralih ke format digital. Selain itu, pada tahun 2016, Sinar Harapan, salah satu surat kabar terkemuka yang telah beroperasi sejak 1961, terpaksa tutup karena kesulitan keuangan.
Majalah-majalah lainnya seperti Gadis dan Kawanku juga menghentikan penerbitan cetak mereka dan lebih fokus pada platform digital.
Laura Kleiman, Manajer Kemitraan Strategis Bench Media, mengakui bahwa pergeseran dari cetak ke digital telah berlangsung signifikan dalam sepuluh tahun terakhir.
BACA JUGA: 15 Istilah Penting dalam Dunia Periklanan Digital yang Harus Kamu Pahami
“Iklan digital memiliki keunggulan dalam hal penargetan yang lebih akurat dan mengurangi pemborosan, yang sangat penting di kondisi ekonomi saat ini. Dengan menurunnya sirkulasi dan pendapatan iklan, banyak print media beroperasi dengan anggaran terbatas, sehingga kesulitan memproduksi konten premium berskala besar seperti sebelumnya. Saya yakin dominasi media cetak di pasar massal sudah menjadi sejarah,” jelasnya.
Yelia Schnelle, Direktur Perencanaan Senior Universal McCann (UM) Australia mengungkapkan tantangan yang dihadapi media cetak, terutama karena preferensi generasi muda yang lebih menyukai platform berbasis feed digital.
“Untuk dapat bertahan, media cetak perlu menciptakan konten yang benar-benar disesuaikan untuk format cetak, bukan sekadar memindahkan konten digital ke dalam bentuk kertas. Keberhasilan mereka sangat bergantung pada kemampuan untuk membangun permintaan terhadap konten mereka, apa pun mediumnya,” ujar Schnelle.
BACA JUGA: Tujuh dari Sepuluh Pengiklan Terbesar di Media Cetak adalah Pemda
Saat dunia semakin digital, fenomena kebangkitan kembali aspek-aspek analog menunjukkan bahwa masih ada nilai dalam sesuatu yang bersifat fisik.
Dari vinil, mainan, hingga fotografi cetak, keinginan untuk memiliki benda nyata tetap ada, termasuk dalam hal media cetak.
Di era layanan streaming dan playlist digital, generasi muda seperti Gen Z justru ramai-ramai mengunjungi toko piringan hitam, tertarik pada pengalaman taktil dan keaslian vinil.
Pada tahun 2022 saja, penjualan vinil mencapai 41 juta unit, mengalami pertumbuhan dua digit selama lebih dari satu dekade.
“Kembalinya minat pada produk ‘analog’ di era digital ini sejalan dengan daya tarik media cetak yang masih bertahan. Print media menjadi artefak budaya yang menjawab kebutuhan akan keaslian dan rasa nostalgia, hal yang tidak bisa disediakan oleh saluran digital. Hal ini juga selaras dengan tren mindfulness dan konsumsi yang lebih sadar di kalangan generasi muda, yang mencari keterhubungan yang lebih mendalam dengan brand dan pengalaman mereka,” kata Heathfield.
BACA JUGA: Pentingnya Digitalisasi Sekolah dalam Mencetak Lulusan Terampil Teknologi
Lebih dari sekadar menghadirkan sesuatu yang nyata di dunia yang serba virtual, media cetak menawarkan pengalaman yang bisa disentuh dan dirasakan.
Di tengah koneksi digital yang serba maya, fisikitas dari media cetak menjadi penyeimbang yang memberikan sentuhan dunia nyata. Melihat ke depan, print media bukan hanya tentang nostalgia masa lalu, tetapi juga tentang inovasi yang terus berkembang.
Teknologi seperti augmented reality, QR Code, dan pencetakan personalisasi adalah beberapa contoh bagaimana media cetak beradaptasi dengan era digital, mengaburkan batas antara dunia fisik dan virtual. Dengan aplikasi realitas virtual, konsumen kini bisa mengubah media cetak menjadi gambar bergerak.
“Media cetak akan tetap menjadi kekuatan di masa depan, bukan sebagai peninggalan zaman dahulu, melainkan sebagai medium dinamis yang terus berkembang dan berinovasi. Media cetak akan terus menarik mereka yang mencari kualitas, kedalaman, dan hubungan nyata dengan brand,” kata Heathfield.
Editor: Eric Iskandarsjah