Persaingan industri saat ini tidak hanya berbicara tentang bagaimana bisnis bisa lebih sukses dari pesaing. Tapi, bagaimana perusahaan dan pemimpin perusahaan bisa mengambil keputusan untuk berupaya relevan dengan kondisi pasar. Dalam hal ini, agilitas (agile) menjadi poin penting yang harus dimiliki oleh perusahaan.
“Agile sendiri berarti sebuah organisasi atau perusahaan bisa bergerak cepat dan leluasa. Dalam sebuah bisnis berbasis teknologi, agile biasanya digunakan untuk pengembangan software dengan kriteria untuk beradaptasi,” jelas Stefanie Suanita, Founder & CEO CATAPA.
Dalam Marketing 5.0, agile sangat dibutuhkan oleh organisasi atau perusahaan yang ingin berkembang dengan mengadaptasi teknologi. Stefanie menegaskan meskipun banyak diterapkan untuk pengembangan software, pada dasarnya agile tidak hanya diperlukan saat menyusun konstruksi dan keguanaan software pada perusahaan. Namun, sifat ini harus dimiliki secara mengakar di semua jenjang karir di perusahaan mengingat lanskap industri yang berkembang pesat saat ini sehingga membutuhkan fleksibilitas penentuan keputusan agar perusahaan tidak telat beradaptasi.
“Why should we be agile? Jawabannya tentu saja agar perusahaan bisa mengikuti perubahan lanskap bisnis dengan cepat, beradaptasi dengan teknologi yang mendisrupsi secara konstan, beradaptasi dengan demand konsumen yang baru dengan cepat, dan tentunya ‘peperangan’ baru untuk meningkatkan talenta karyawan,” paparnya.
Sekarang, bagaimana caranya membangun organisasi dan perusahaan yang agile. Stefani memberikan lima langkah.
Pertama, bangun analisis data secara real time. Dalam membangun agilitas perusahaan, data sangat dibutuhkan untuk membaca kondisi terkini yang terjadi pada kompetitor, konsumen, dan lanskap bisnis.
“Tapi pastikan data diolah dan dipilih secara cermat. Penyakit yang seringkali dilakukan oleh perusahaan adalah tidak menyaring data sehingga mereka tidak tahu mana data yang benar-benar dibutuhkan. Akibatnya penentuan keputusan justru tidak fokus pada satu tujuan. Bukannya agile, perusahaan justru gagal membaca apa yang dibutuhkan pasar,” kata Stefanie
Kedua, tim yang bekerja harus terdesentralisasi. Artinya, semua orang dalam tim bisa berinisiatif dalam memilih atau mengambil pekerjaannya. Stefani mengatakan hal ini mendukung penyesuaian tugas dengan talenta yang dimiliki individu dalam tim yang membuat pekerjaan dilakukan secara cepat dan tepat.
Ketiga, organisasi harus menerapkan sebuah kultur pengembangan yang fleksibel. Keempat, eksperimen yang cepat. Dan terakhir, organisasi atau perusahaan harus memilih mana keputusan yang akan menghasilkan output terbesar.
“Agile tidak melihat kinerja dari proses, tapi dinilai dari outcome yang dihasilkan. Kinerja justru dilakukan sesingkat, sesederhana, dan setepat mungkin untuk menghasilkan outcome yang besar bagi perusahaan,” tutup Stefanie.