Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendorong nilai tambah kelapa sawit untuk menghasilkan produk turunan yang memberi dampak besar bagi ekonomi. Nilai tambah kelapa sawit itu adalah uoleofood complex, yakni pangan dan nutrisi, oleochemical and biomaterial complex atau bahan kimia dan pembersih, dan bahan bakar nabati berbasis sawit di antaranya biodiesel, greendiesel, greenfuel, dan biomass.
“Hilirisasi minyak sawit yang diolah menjadi berbagai produk turunan dapat menghasilkan nilai tambah sampai dengan empat kali lipat,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (23/12/2022).
BACA JUGA: Lewat PIDI 4.0, Kemenperin Latih 1.400 SDM Industri
Hingga September 2022, ekspor produk industri berbasis kelapa sawit telah mencapai US$ 29 miliar. Kemenperin juga mendorong hilirisasi di industri petrokimia
Upaya ini dinilai strategis karena dapat menghasilkan bahan baku primer untuk menopang banyak industri manufaktur hilir penting seperti tekstil, otomotif, mesin, elektronika, dan konstruksi.
BACA JUGA: Berkat PC-PEN, Kinerja Industri Manufaktur Pulih Lebih Cepat
“Pemerintah saat ini tengah mengawal sejumlah proyek pembangunan industri petrokimia raksasa, di antaranya investasi petrokimia di Cilegon, gasifikasi batu bara di Muara Enim, serta di Bintuni Papua,” ujar Agus.
Hingga Oktober 2022, kinerja ekspor dari industri kimia juga menunjukkan capaian yang gemilang, yakni sebesar US$ 18,5 miliar atau naik 20% dibanding periode yang sama pada tahun sebelumnya.
“Kami perkirakan pada tahun 2022 ini akan mencapai US$ 21-23 miliar, dan pada tahun 2023 ditargetkan bisa di angka US$ 25 miliar,” ucapnya.
Dia menambahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan hilirisasi energi hijau juga menjadi kunci untuk menopang perekonomian nasional ke depan. Dalam hal ini, Kemenperin terus membangun ekosistem sirkular ekonomi melalui implementasi industri hijau.
“Industri hijau adalah upaya kita bersama dalam membangun industri nasional yang tangguh namun selaras dan harmonis antara pertumbuhan ekonomi, kelestarian lingkungan, dan kesejahteraan serta kesehatan masyarakat,” tuturnya.
Agus menyampaikan beberapa tantangan saat ini yang perlu mendapat perhatian agar kebijakan hilirisasi industri bisa berjalan baik, antara lain adalah ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang kompeten, perluasan kerja sama internasional untuk mengisi pasar ekspor baru seperti Eropa dan Afrika, pemberian fasilitas insentif.
Selain itu, memperkuat kemampuan negosiasi dan posisi dalam upaya menghadapi tekanan dari perdagangan dan diplomasi internasional.