Ada yang bilang Revolusi Mental hanyalah angin lalu. Ada juga yang bilang bahwa Revolusi Mental hanya “barang dagangan” sesaat selama Pemilu. Bahkan, ada yang bilang Revolusi Mental mengalami “masuk angin” alias cuma wacana tanpa praksis nyata. Namun, lepas dari itu semua, Revolusi Mental menjadi gagasan yang mendesak untuk diimplementasikan dalam tindakan demi Indonesia yang lebih baik. Krisis moral yang terjadi di segala lini membuat Revolusi Mental menjadi urgensi bagi Indonesia untuk menciptakan perubahan atau keluar dari lingkaran krisis moral tersebut. Krisis moral ini berdampak pada krisis-krisis yang lain yang membuat Indonesia tidak bisa maju.
Sekadar kilas balik, Revolusi Mental berawal dari sebuah gagasan yang diharapkan bisa diterjemahkan dalam gerakan struktural dan kultural. Hal ini diperlukan untuk menjadikan Indonesia lebih baik. Ide awal Revolusi Mental pertama datang dari Presiden Joko Widodo pada masa kampanye pilpres beberapa bulan lalu. Gagasan Revolusi Mental ini kemudian secara tertulis tertuang dalam kolom opini Harian KOMPAS pada Sabtu, 10 Mei 2014 yang ditulis oleh Jokowi sendiri – saat itu berstatus sebagai capres dari PDI Perjuangan.
Gagasan perubahan yang terkandung dalam ide Revolusi Mental tersebut disambut positif oleh banyak kalangan. Hal ini menandai bahwa Indonesia memang membutuhkan perubahan radikal. Dan, perubahan itu harus bersifat revolusioner mengingat permasalahan yang terjadi sudah taraf memprihatinkan.
Pada edisi Februari ini, Majalah Marketeers mengusung sajian utama bertajuk “Revolusi Mental: Making Indonesia WOW!” Dalam edisi ini, Marketeers mengupas kilas balik Revolusi Mental dari tahapan ide yang kemudian mengerucut dalam proses pengolahan yang dilakukan oleh Tim Pokja Revolusi Mental yang diketuai oleh sosiolog Universitas Indonesia Prof. Paulus Wirutomo. Serangkaian Focus Group Discussion (FGD) digelar untuk mendapatkan berbagai insight. Akhirnya, dari proses tersebut, dirumuskan tiga dimensi, enam nilai strategis, dan delapan belas elemen dari Revolusi Mental tersebut.
Paulus menyatakan perubahan ini harus dimulai secara struktural yang artinya harus dimulai dari pemerintah. Pemerintah harus bisa memberi contoh dan membuat regulasi yang mengarah pada perubahan tersebut. Apalagi persoalan mental ini bukan sekadar persoalan perseorangan, tetapi sudah menjadi epidemi yang merusak sistem alias krisis sistemik.
Apa saja nilai-nilai tersebut? Bagaimana Revolusi Mental bisa dimulai? Apa kata orang-orang, khususnya dari kalangan bisnis, menanggapi Revolusi Mental ini? Simak di edisi terbaru Majalah Marketeers, “Revolusi Mental: Making Indonesia WOW!” pada Februari ini.