Ekonomi APAC Membaik, Bagaimana dengan Perdagangan Indonesia?
Beberapa waktu lalu, Presiden RI Joko Widodo menyatakan kekecewaannya terhadap kinerja perdagangan Indonesia, khususnya soal ekspor. Ekspor Indonesia yang mencapai US$ 145 miliar selama tahun 2017 dinilai rendah dan kalah dengan Thailand yang mencapai US$ 231 miliar, Malaysia US$ 184 miliar dan Vietnam yang mencapai US$ 160 miliar.
Berselang beberapa hari setelahnya, Grant Thornton -sebagai organisasi global yang menyediakan jasa audit, tax, dan advisory, menyampaikan laporannya mengenai optimisme perdagangan di Asia Pasifik tahun ini. Seperti apa laporannya? Dan akankah berpengaruh positif bagi Indonesia?
Bertajuk “Asia Pacific: Trading and Thriving”, Grant Thornton mencatat pergerakan positif ekonomi di kawasan Asia Pasifik. Hal ini tergambar dari level optimisme bisnis mencapai titik tertinggi selama 2 tahun terakhir yaitu di angka 41%.
Perekonomian yang cukup dinamis terutama digerakkan oleh dua kekuatan ekonomi, Tiongkok dan Jepang dan didukung meningkatnya perdagangan di negara-negara Asia Pasifik. Hasil survei mencatat 46% pelaku bisnis percaya “One Belt One Road” yang diinisiasi pemerintah Tiongkok dengan US$5 Trilyun kesiapan dana untuk program infrastruktur di Asia, Timur Tengah, Eropa dan Afrika akan menjanjikan kesempatan pertumbuhan ekonomi.
Optimisme bisnis di Asia Pasifik tersebut didorong fakta bahwa 50% dari pelaku bisnis memiliki keyakinan cukup tinggi akan stabilitas kondisi geolitik di kawasan Asia Pasifik. Tentunya, kondisi ini akan menciptakan iklim bisnis kondusif untuk perdagangan bebas setidaknya selama 5 tahun kedepan.
Riset Grant Thornton menunjukkan beberapa kemitraan perdagangan antarnegara seperti
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang dibentuk tahun 2015 turut mendorong tumbuhnya kesempatan bisnis. Selain itu Kemitraan Trans Pasifik juga dianggap mampu memperkuat hubungan dagang dan ekspor antarnegara anggota walaupun Amerika Serikat menarik dukungannya tahun lalu.
Walau data pendukung tersebut terlihat positif dan meyakinkan, perlu diwaspadai beberapa ancaman yang mampu memengaruhi pesatnya pertumbuhan ekonomi maupun optimisme bisnis di kawasan Asia Pasifik tersebut.
Grant Thornton mencatat ada 3 ancaman yang mampu mengganggu stabilitas perekonomian kawasan ini, di antaranya, pertama adalah populasi yang menua. Dalam 2 tahun terakhir, kondisi ini dianggap sebagai ancaman yang paling besar (diyakini oleh 33% pelaku bisnis). Kedua, Konflik Regional terkait sengketa kawasan. Permasalahan ini dianggap berpotensi menjadi ancaman besar dikarenakan ketidakpastian cara para pemimpin negara untuk menyelesaikan perselisihan yang juga akan berpengaruh terhadap kemampuan merencanakan ekonomi secara efektif.
Ketiga, perlambatan ekonomi Tiongkok. Kondisi ini terdengar santer sebagai salah satu
penyebab melambatnya ekonomi global dari tahun lalu. Grant Thornton pun menemukan 32% pelaku
bisnis di Asia Pasifik yang melihat hal tersebut sebagai ancaman.
“Bisnis di seluruh wilayah ini bergulat dengan berbagai tantangan ekonomi, budaya, dan politik. Meski data-data pendukung masih positif, jika tantangan tersebut dibiarkan tentunya dapat menghalangi prospek pertumbuhan yang telah diidentifikasi oleh laporan terbaru kami,” jelas Rodger Flynn, Grant Thornton Regional Head of Asia Pacific pada laporan resminya ke Marketeers.
Flynn juga menegaskan pentingnya pelaku bisnis untuk memiliki rencana cadangan terkait perjanjian dagang baik dari skala global hingga regional untuk memanfaatkan peluang perdagangan secara optimal.
Optimisme Indonesia pada 2018
Lantas. bagaimana dengan optimisme dan tantangan bisnis di Indonesia untuk tahun ini? Data yang
cukup menarik terlihat bahwa optimisme pelaku bisnis di Indonesia merupakan yang tertinggi
di dunia yaitu mencapai 100% dibanding rata-rata ASEAN dan APAC yang keduanya berada di level 58%. Optimisme akan adanya peningkatan penjualan juga diyakini 72% pelaku bisnis di Indonesia, lebih tinggi dari rata-rata ASEAN di 58% dan APAC di 67%.
Seiring dengan membaiknya perekonomian dunia, pemerintah Indonesia pun optimistis perekonomian negeri ini akan mengalami perbaikan. Optimisme ini terlihat dari target pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk 2018 yang diproyeksikan dapat mencapai 5.4% (lebih tinggi dari 2017). Kondisi ini, terutama didorong oleh peningkatan kinerja investasi dan ekspor seperti tertuang pada Nota Keuangan dan RAPBN 2018 yang dikeluarkan Departemen Keuangan.
Target pertumbuhan tersebut juga didukung faktor lainnya seperti kurs dolar dan inflasi yang relatif stabil serta harga-harga komoditi yang mulai bangkit. Di sisi lain, tingkat optimisme di Tiongkok, Jepang dan negara utama lain di Asia diyakini menjadi faktor pendorong eksternal tingginya optimisme Indonesia.
Selain itu, Grant Thornton juga mencatat adanya 3 faktor pendukung utama yang diyakini
pelaku bisnis di Indonesia akan mendukung optimisme bisnis tahun ini. Tiga faktor tersebut meliputi, meningkatnya jumlah kelas menengah secara konsisten, meningkatknya kerjasama Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), dan pengembangan infrastruktur lokal.
Masih menurut mereka, walau Indonesia cukup mencetak banyak data positif dibandingkan regional namun perlu digarisbawahi bahwa beberapa potensi area pengembangan Indonesia masih berada di bawah rata-rata kawasan. Hal ini berkaitan dengan peningkatan investasi di bidang research and development serta peningkatan investasi di bidang teknologi.
“Pelaku bisnis di Indonesia diharapkan mampu menyikapi secara bijak berbagai data positif
perekonomian Asia Pasifik dengan mengatur strategi perdagangan mereka sebaik-baiknya. Pemerintah juga perlu melakukan review sedini mungkin atas kebutuhan area pengembangan yang menunjang industri untuk menjaga tumbuhnya bisnis secara berkesinambungan,” ujar Johanna Gani, Managing Partner Grant Thornton Indonesia.
Apakah Indonesia mampu? Semoga saja.
Editor: Eko Adiwaluyo