Digitalisasi ekonomi sedang terjadi di beragam negara di dunia saat ini. Perilaku konsumen dalam mengkonsumsi dan berbisnis turut berubah gara-gara teknologi. Akibatnya banyak sektor bisnis dan industri yang kepaksa berubah. Indonesia juga salah satu yang berubah, hingga pemerintah mencanangkan target Indonesia menjadi “The Digital Energy of Asia” pada 2020.
Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan ekonomi digital. Ini terlihat dari aktivitas digital penduduk Indonesia cukup tinggi terutama dalam belanja online. Menurut data We Are Social, penetrasi e-commerce di Indonesia sebesar 9% dari total populasi, dengan pangsa pasar mencapai US$ 5,6 miliar atau sekitar Rp 76 triliun pada 2016. Nilainya memang masih rendah. Namun, dengan kecenderungan pengguna internet yang terus meningkat, Indonesia dapat menjadi pasar potensial bagi ekonomi digital. Lebih lanjut, Indonesia memiliki jumlah penduduk yang mencapai 262 juta jiwa, 51% di antaranya adalah pengguna internet.
Smartphone memiliki peran fundamental dalam keseharian penduduk Indonesia. Rata-rata empat jam setiap hari waktu yang dihabiskan untuk berselancar di dunia maya melalui ponsel, terutama terkoneksi dengan media sosial. Mereka kebanyakan adalah penduduk berusia muda. Selain smartphone, kalangan anak muda atau yang lebih sering disebut millenial, menjadi salah satu motor dari ekonomi digital. Lembaga konsultan Solidiance memprediksi jumlah generasi milenial Indonesia akan mencapai 50 persen dari total populasi pada 2027.
Sebagai digital native, milenial menginginkan kemudahan dalam melakukan transaksi. Perangkat mobile dan media sosial akan berperan penting dalam aktivitas keseharian. Tak terhindarkan permintaan akan layanan berbasis teknologi digital akan meningkat drastis. Di sektor retail dan transportasi, pola interaksi pemberi layanan dengan konsumen sudah mengalami perubahan dan menciptakan efek domino ke bisnis konvensional.
Perbankan pun tidak luput dari transformasi digital yang mulai terjadi. Setelah terhantam krisis finansial global, kali ini ancaman terhadap bank datang dari fintech. Perkembangan fintech, hingga perubahan tren permintaan pasar dan regulasi membuat bank konvensional harus memilih antara beradaptasi atau kehilangan pangsa pasar. Adaptasi terutama diperlukan dalam penerapan teknologi pintar yang berbasis digital.
Hal ini telah dilakukan Bank DBS Indonesia yang meluncurkan layanan perbankan berbasis ponsel pintar pada Agustus lalu. Layanan yang disebut “digibank” tersebut, DBS ingin lebih mendekatkan diri dengan pengalaman konsumen yang semakin dinamis. Seiring pertumbuhan internet dan ponsel pintar, digibank menawarkan keleluasaan transaksi perbankan kapan dan dari mana saja.
“Kami menyaksikan perubahan perilaku konsumen dan masyarakat menginginkan cara bertransaksi di bank yang mudah, cepat dan praktis,” kata Presiden Direktur Bank DBS Indonesia Paulus Sutisna.
Melalui fitur andalan, yaitu kecerdasan buatan dan machine learning, target utama DBS adalah generasi milenial yang mengedepankan kebebasan dan keamanan. Inovasi ini berada di jalur yang tepat, karena sejalan dengan visi pemerintah Indonesia untuk menciptakan ekosistem ekonomi digital yang kuat di masa depan.
Menurut Wawan Salum selaku Direktur Consumer Banking Group DBS, produk ini ditujukan untuk semua kalangan yang memang akrab dengan teknologi. Dalam lima tahun ke depan, Bank DBS memiliki target yang tergolong ambisius untuk produk ini. Dalam lima tahun Digibank diproyeksikan bisa meraih 3,5 juta nasabah di Indonesia. Terkait DPK yang akan diambil, Wawan menjelaskan bahwa belum ada target yang diambil oleh DBS.
“Produk ini barang baru, kami mau luncurkan terlebih dahulu, nanti kami validasi lagi. Jadi kami belum tahu berapa DPK yang mau kami ambil,” pungkasnya.
Editor: Eko Adiwaluyo