Pengalaman dari bawah membuat pengalamannya sebagai seorang CEO menjadi kaya. Pengalaman berkecimpung di dunia penerbitan, ritel, marketing, dan penjualan membuatnya mampu memimpin perusahaan dengan kreatif dan inovatif. Inilah yang dilakoni oleh Priyo Utomo, CEO Group of Retail and Publishing Gramedia.
Salah satu jejak suksesnya adalah ketika dia berhasil membawa toko buku Gramedia melampaui masa-masa was-was yang dikarenakan oleh wacana senjakala (sunset) yang menimpa industri toko buku ini. Di tengah arus digitalisasi, raksasa toko buku dunia Borders Group justru menutup toko bukunya. Banyak pihak menyatakan ini menjadi pertanda nyata senjakala bagi industri toko buku.
Kekhawatiran itu juga berimbas ke Indonesia – khususnya para pengelola toko buku Gramedia yang sudah sekian lama merajai pasar buku di Indonesia. Apalagi, sebelum peleburan antara toko buku dan penerbitan, selama tiga tahun berturut-turut, bisnis toko buku Gramedia juga mengalami penurunan. Saat dilebur, Priyo ditunjuk sebagai CEOnya.
Priyo menyadari tugas saat itu merupakan pertaruhan bagi karirnya. Sebab itu, ia kemudian memutar otak untuk bisa keluar dari kekuatiran Gramedia bakal menyusul Borders tersebut. Akhirnya ia menyadari bahwa mau tidak mau Gramedia harus berubah dan merespons perkembangan zaman.
“Kalau mau tetap bertahan, kami harus mampu mengelola perubahan dengan memperhatikan sisi internal dan eksternal. Kami tidak boleh hanyut dalam situasi mampan masa lalu,” ujar Priyo.
Lalu, Priyo membentuk tim kecil yang didominasi anak muda dan bernama tim multiformat untuk merespons perubahan tersebut dan mencari tahu apakah industri benar-benar mengalami senjakala atau tidak. Akhirnya, tim ini menemukan The Eslite, toko buku di Taipei, Taiwan. Toko ini memberi harapan baru karena konsep unik yang diusungnya. The Eslite buka 24 jam dengan mengusung konsep kafe. Peminatnya berjibun, khususnya anak-anak muda. Dan, The Eslite bukan sekadar toko buku tetapi menjadi bagian dari gaya hidup.
Tanpa menjiplak, Priyo menangkap ide tersebut bisa diadopsi dan dikontekstualisikan di Indonesia. Lalu, Gramedia melakukan transformasi konsep ritelnya – khususnya terkait dengan manajemen produk, manajemen pelanggan, dan manajemen mereknya. Salah satu yang sedang dikembangkan adalah Gramedia World – sebuah konsep baru yang bukan sekadar toko buku tetapi juga tempat perbelanjaan dan rekreasi. Gramedia World hadir di Central Park Mall Jakarta, Bintaro, Cirebon, Palembang, Karawang, Serpong, dan Bekasi.
Saat ini, Gramedia juga tak hanya mengandalkan penjualan toko buku, tetapi juga produk-produk non buku yang justru makin berperan andil pada pendapatan. Di sini, Gramedia menggabungkan toko dengan aneka ragam aktivasi di dalam toko sehingga memberi daya tarik tersendiri.
Di dalamnya juga ada Gramedia Kids yang spesifik menjangkau segmen anak-anak, Tenny Teensy untuk remaja, Milors untuk ritel gaya hidup yang membidik kaum perempuan, Cozyfield untuk, dan sebagainya. Selain itu, Gramedia juga membangun kanal digital untuk memenuhi kebutuhan netizen berbelanja secara online dengan 12.000 judul yang sudah bisa diakses.
“Gramedia telah bertansformasi sedemikian rupa dari Gramedia di era dulu. Saat ini, terjadi integrasi online dan offline dalam pengelolaannya. Tak ada lagi dikotomi antara yang fisik dan digital. Gramedia sungguh-sungguh sebagai penyedia konten dengan platform yang beragam,” katanya.
Sebagai penanda perubahan, Gramedia juga meredesain logonya yang lebih dinamis dan bisa dikemas dengan berbagai desain seperti hanya logo Google. Saat ini, Gramedia memiliki 7.000 karyawan, 115 toko yang tersebar di 46 kota di Indonesia. “Ke depannya, kunci Gramedia tetap bertahan ketika mampu merespons perubahan zaman,” pungkas Priyo.