Industri Hasil Tembakau (IHT) merupakan salah satu sektor manufaktur yang mampu memberikan kontribusi besar terhadap penerimaan devisa, yakni melalui ekspor produk rokok dan cerutu. Pada tahun 2018, nilai ekspor rokok dan crutu mencapai US$ 931,6 juta. Angka ini meningkat 2,98% dibanidng dengan capaian 2017 sebesar US$ 904,7 juta.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartanto mengatakan dengan capaian ini, Industri rokok juga dapat dikatakan sebagai sektor kearifan lokal yang memiliki daya saing global. Menperin juga menambahkan bahwa selama ini indusri rokok dalam negeri telah meningkatkan nilai tambah dari bahan baku lokal berupa hasil perkebukanan tembakau dan cengkeh. Tidak hanya itu, sektor ini juga menyumbang pendapatan negara yang cukup signifikan melalui cukai.
Dilansir dari rilis yang dikeluarkan oleh Kementerian Perindustrian, penerimaan cukai rokok sepanjang 2018 mencapai angka Rp 153 triliun. Angka ini mengalami peningkatan sebanyak Rp 6 triliun dari pendapatan tahun 2017 sebanyak Rp 147 triliun. Hal ini berrti penerimaan cukai rokok pada tahun lalu berkontribusi mencapai 95,8% terhadap cukai nasional.
Tidak hanya sebagai sektor ekonomi, IHT juga dianggap sebagai bagian dari sejarah bangsa dan budaya Indonesia, khususnya rokok kretek. Produk berbasis tembakau dan cengkeh ini merupakan warisan inovasi nenek moyang yang sudah mengakar turun-temurun.
“Ini sesuai visi dan misi Kabinet Kerja yang mengupayakan seluas-luasnya pemanfatan sumber daya dalam negeri melalui pengembangan sektor manufaktur. Salah satunya industri hasil tembakai dalam skala industri kecil dan menengah,” tambah Airlangga.
Keseriusan pemerintah terhadap industri SKT perlu diacungi jempol. Menurut Airlangga, pekerjaan linting rokok kretek akan terus ada dan berkelanjutan. Ke depannya penerapan teknologi industri 4.0 juga dapat berjalan secara paralel dan harmonis dengan industri yang menggunakan teknologi manual seperti rokok kretek.
Editor: Sigit Kurniawan