Kemampuan mengendalikan stres dapat menentukan kualitas hidup seseorang. Stres dapat berasal dari tuntutan pekerjaan, banyaknya tanggung jawab yang harus dijalankan, atau sedang menghadapi suatu masalah.
Ketika seseorang mengalami stres, namun belum bisa mengelolanya dengan baik, hal ini maka akan berdampak pada produktivitas, performa kerja, kualitas tidur, bahkan mengganggu pola makan serta kesehatan fisik. Sering kali ditemui seseorang yang sedang mengalami peningkatan atau penurunan nafsu makan yang signifikan.
Ini bisa dikarenakan stres, dan hal tersebut dapat mengubah seseorang secara fisiologis atau penampilan yang drastis akibat dari perubahan pola makan yang signifikan. Pada akhirnya, dapat memicu ketidakpercayaan diri karena tubuhnya terlihat kurus atau bahkan peningkatan berat badan secara drastis yang juga mendorong risiko obesitas.
Sebagaimana diketahui, perubahan emosi dan perilaku seseorang dapat berubah ketika sedang stres. Hal ini disebabkan oleh amigdala, yaitu sebuah organ di dalam otak besar yang berperan dalam pengelolaan emosi dan stres.
Ketika organ ini terganggu, seseorang menjadi reaktif, sulit mengendalikan emosi, dan dapat memicu gangguan psikologis, salah satunya gangguan makan (eating disorder). Lalu, bagaimana cara orang tersebut menyadari bahwa perilaku makan mereka terganggu?
Dilansir dari HelpGuide.org, terdapat dua kondisi yang perlu diketahui, yaitu makan karena kondisi emosi yang tidak stabil (emotional eating), dan makan karena tubuh merasa lapar.
BACA JUGA: Brainstorming adalah Teknik Problem Solving untuk Hasilkan Ide Kreatif
Saat mengalami emotional eating, aktivitas makan dapat menjadi alasan untuk seseorang merasa lebih nyaman atau untuk sebagai self-reward. Saat ini terjadi, orang tersebut cenderung memilih makanan yang tidak sehat, seperti makanan cepat saji, makanan manis mengandung tinggi gula,h hingga gorengan.
Emotional eating menjebak seseorang untuk makan makanan tersebut agar seolah mereka akan merasa lebih baik. Faktanya, makanan tersebut pun tidak mampu memenuhi rasa lapar, apalagi memberi gizi yang cukup bagi tubuh apabila dikonsumsi berlebihan.
Dengan begitu, emotional eating tentu tidak akan mampu membereskan problema emosi yang sedang dialami emosional. Sebaliknya, hal ini malah akan menambah isu baru, seperti obesitas, kepercayaan diri, datang penyakit di tubuh sehingga merasa bersalah karena telah melakukan keburukan pada tubuh melalui emotional eating tersebut.
Ada beberapa tanda orang mengalami emotional eating. Pertama, emotional eating datang tiba-tiba, rasanya signifikan dan ingin segera makan.
Pada saat lapar biasa, hal ini tidak terjadi. Biasanya, lapar yang normal dirasakan secara bertahap.
Kedua, emotional eating sering kali ‘meminta’ seseorang untuk mengonsumsi makanan yang mereka anggap ‘nyaman’, seperti es krim, cheesecake, pizza hingga keripik, yang mana karbohidrat, protein dan serat sehat tidak menjadi pilihan.
Ketiga, ada rasa ‘ingin makan terus’ pada saat emotional eating. Orang tersebut tidak mudah kenyang dan terpuaskan.
Keempat, muncul rasa ‘bersalah’ setelah mengonsumsi apa yang dimakan, karena sebenarnya orang tersebut memahami bahwa apa yang dikonsumsi tidak sehat untuk tubuh. Iswan Saputro, Head of EAP Indonesia yang juga salah satu psikolog klinis di Remedi Indonesia menjelaskan gangguan makan dapat berlangsung terus menerus, diikuti dengan gangguan emosi dan manajemen stres yang buruk.
Seseorang dengan gangguan makan akan kesulitan mengendalikan nafsu makan, dan menjaga berat badan ideal akan menjadi tugas yang sulit dilakukan.
“Ujungnya, bisa memberi kritik buruk pada diri sendiri atau body image negatif karena perubahan fisik yang sudah mulai terlihat. Tidak hanya terlihat lebih gemuk, bisa jadi tubuh memberi tanda lain seperti mulai banyak jerawat, rambut mudah rontok, dan lainnya. Bila ini sudah terjadi, misalnya pada karyawan, akan sangat mungkin berdampak pada kepercayaan diri, produktivitas dan performa kerjanya di kantor,” ucap Iswan.
BACA JUGA: Populix: Mayoritas Gen Z dan Milenial Suka Beli Makan di Luar
Pernyataan Iswan di atas diperkuat dengan sebuah penelitian yang dipublikasikan Journal of Occupational and Environmental Medicine tahun 2021. Berdasarkan penelitian tersebut, karyawan dengan kondisi obesitas akan memengaruhi produktivitas kerja dan tingkat kehadiran dalam pekerjaan.
Kondisi obesitas yang tidak segera diatasi dapat menimbulkan risiko lain, seperti penyakit jantung, hipertensi, dan diabetes. Oleh sebab itu, manajemen stres dan program kesehatan holistik bagi karyawan menjadi penting untuk dimiliki untuk menjaga kualitas hidup lebih selaras, khususnya untuk performa kerja yang jauh lebih baik dengan tubuh yang lebih sehat.
“Remedi Indonesia melalui EAP Indonesia menyediakan layanan konseling bagi karyawan dan dapat memfasilitasi para karyawan yang sedang mengalami stres yang datang dari lingkungan kantor ataupun dari rumah. Dengan bantuan profesional, kami harap layanan ini dapat membantu masyarakat untuk mengubah mindset yang lebih sehat, mampu memiliki coping mechanism yang lebih baik terhadap stres, dan menjalani pola hidup yang lebih sehat,” tutur Iswan.
Editor: Ranto Rajagukguk