Pariwisata merupakan salah satu mesin perekonomian sebuah negara, termasuk Indonesia. Bicara pariwisata Indonesia tentu tidak lepas dari Pulau Bali. Nama Bali sudah terkenal diseantero dunia, bahkan mengalahkan nama Indonesia. Namun, tingginya popularitas wisata di Bali membawa permasalahan sendiri.
Nalendra Pradono selaku Executive Director MarkPlus Center For Tourism and Hospitality, menjelaskan setidaknya ada beberapa aspek yang memberikan dampak yang kurang menyenangkan terkait kehidupan masyarakat Bali.
Pertama, adalah masalah harga. Di Bali setidaknya terdapat 130 ribu hotel dengan jumlah kamar mencapai 40 juta. Sedangkan turis yang datang ke Bali baik domestik dan mancanegara hanya berkisar pada angka 13 jutaan turis setiap tahunnya. Tentunya, hal ini menjelaskan selisih yang besar antara supply dan demand di kawasan Bali. “Selisih yang besar ini pada akhirnya berujung pada perang harga,” ujar Nalendra di Jakarta, Rabu (7/3/2018).
Terlebih setelah erupsi Gunung Agung pada akhir 2017 lalu, terdapat penurunan jumlah wisatawan ke Bali. Ia menyebutkan beberapa hotel di kawasan Sunset Road di Bali, ada yang sampai menjual kamarnya Rp 200 ribu semalam. Bahkan ada beberapa hotel yang mengalihfungsikan kamar sebagai ruang kerja untuk disewakan ke beberapa orang.
Kedua, selain masalah harga adalah komodifikasi budaya lokal. Untuk mengakomodasi selera wisatawan, tidak sedikit beberapa kesenian asli Bali diperbaharui dengan nuansa yang lebih modern. Bagi Nalendra hal ini sebenarnya bukan permasalahan besar asalkan kesakralan dari budaya dan seni tersebut tidak hilang.
Ketiga, Sudah tidak dipungkiri bahwa riuk pikuk pariwisata di Bali membawa permasalahan polusi. Tidak hanya sampah, polusi yang terjadi di Bali sudah sampai taraf kemacetan dan kebisingan. Bahkan polusi ini sudah merebak hingga kawasan terumbu karang. Belum lagi permasalahan konsumsi air secara berlebih.
Ia menjelaskan bahwa konsumsi air satu turis di Bali setara dengan konsumsi air 100 orang di pedesaan. “Citra Bali saat ini adalah destinasi wisata yang sangat murah dan lingkungannya kurang terjaga,” imbuh Nalendra.
Keempat, permasalahan yang muncul adalah masalah politik dan ekonomi. Kebanyakan orang yang berkunjung ke Bali akan menetap di wilayah Kuta, Seminyak, Nusa Dua, Sanur, dan Ubud. Destinasi ini terletak di wilayah Bali Selatan. Tentunya, pembangunan infrastruktur dan ekonomi akan lebih banyak di kawasan selatan. Hal ini yang membuat ada kesenjangan di kawasan Bali Utara, yang memang destinasi pariwisatanya tidak seramai kawasan Bali Selatan.
Editor: Eko Adiwaluyo