Employer Branding, Strategi di Tengah Sulitnya Mencari SDM Berkualitas

marketeers article

Memang, banyak yang menyebutkan maju atau mundurnya perusahaan tergantung dari sang pemimpin. Namun, sehebat apa pun nakhoda yang dimiliki perusahaan, tidak akan berdampak besar tanpa adanya bantuan dari karyawan. Karenanya, memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) terbaik menjadi kunci utama. Di sinilah, employer branding sangat diperlukan oleh perusahaan.

Sederhananya, employer branding adalah upaya perusahaan untuk meningkatkan reputasi sehingga menjadi tempat dan pilihan terbaik dalam bekerja. Mungkin Anda bertanya-tanya, untuk apa perusahaan menjalankan employer branding? Toh, jumlah pengangguran di Indonesia terbilang banyak. Asal tahu saja, menurut catatan Badan Pusat Statistik ( BPS), tingkat pengangguran terbuka (PTP) di Indonesia mencapai 5,34% atau 7 juta orang.

Meski angka pengangguran Indonesia terbilang lumayan, ada satu hal yang harus diingat perusahaan. SDM adalah aset bagi perusahaan. Tentunya, perusahaan ingin sebisa mungkin menjaring talenta terbaik. Mana yang Anda pilih? Karyawan yang memiliki kemampuan mumpuni, semangat bekerja tinggi, merasa menyatu dengan perusahaan, dan peduli; atau karyawan yang sibuk bermain games, cuek, kerap menjelek-jelekan perusahaan, dan menyedot semangat rekan kerja lainnya?

Ketika sebuah perusahaan berhasil menjalakan employer branding, maka ada berbagai keuntungan yang bisa mereka raih. Mereka menjadi pilihan dan tujuan utama bagi para pencari kerja fresh graduate hingga berpengalaman. Perusahaan menjadi magnet dan tidak berkoar-koar untuk mendapatkan talent terbaik. Perusahaan juga memiliki daya tawar yang kuat karena menjadi tujuan utama pencari kerja.

Tak hanya itu, ketika employer branding berjalan baik, karyawan Anda yang jumlahnya puluhan, ratusan, ribuan, bahkan ratusan ribu akan bertahan dan betah bekerja di perusahaan Anda. Mereka merasa telah menemukan tempat idaman, nyaman, dan aman bagi masa sekarang atau masa depan. Kita tidak akan disibukkan dengan keluar atau masuknya karyawan.

Namun employer branding bukanlah usaha yang datang dalam sekejap. Perusahaan tidak bisa mendapatkan talenta terbaik dengan hanya ‘membakar uang’ mulai dari beriklan di media massa, memberikan gaji besar, atau benefit yang melimpah.

Apalagi generasi milenial -yang menjadi generasi terbanyak dan menguasai dunia kerja- terkenal tidak loyal terhadap sebuah perusahaan. Riset IDN Media bertajuk Indonesia Millennial Report 2019 menyebutkan, 35% Gen Y hanya ingin bekerja selama 2-3 tahun. Sedangkan 27,1% milenial lainnya hanya ingin bekerja dengan durasi 4-5 tahun saja.

Lantas apa yang harus dilakukan perusahaan untuk menjalankan employer branding? Jika dunia marketing memiliki unique value proposition (UVP), maka dunia human resources memiliki employer value proposition (EVP). Dalam UVP, brand biasanya akan memberikan janji serta keuntungan yang diraih ketika konsumen menggunakan produk mereka. Hal inilah yang membedakan satu produk dibanding produk lainnya.

Sedangkan EVP adalah janji yang diberikan perusahaan kepada karyawannya. Perusahaan bisa dengan bebas dalam menentukan EVP. Bank Central Asia misalnya, menjadikan friendly environment dan continuous improvement sebagai EVP mereka. Hingga saat ini, memang tidak ada teori pasti mengenai EVP ini. Tapi intinya tidak jauh dari kesempatan berkarier, reward, lingkungan, organisasi, kehidupan yang berimbang, kultur, self development, dan lainnya.

Marketeers pun membagi EVP ini menjadi tiga hal agar mudah diingat, yaitu culture, career dan compensation. Tiga hal itu tidak terlepas dari fenomena yang dihadapi perusahaan dalam menghadapi Gen Y. Kultur dan birokrasi yang kaku misalnya akan membuat Gen Y tidak betah. Begitu pula dalam urusan karier. Riset IDN Media menyebutkan bahwa Gen Y bukan hanya mengejar gaji saja, melainkan juga tantangan dan kesempatan untuk mengembangkan diri. Begitu pula kompensasi. Karenanya, jangan heran jika banyak perusahaan yang menerapkan kerja ala remote sehingga karyawan tidak perlu datang ke kantor.

“Terkadang, seorang karyawan merasa memiliki waktu produktif pada pukul satu hingga tiga dini hari. Dibandingkan menghabiskan waktu selama delapan jam di kantor, urusan pekerjaan nyatanya bisa ia selesaikan hanya dalam tiga jam ketika bekerja dari rumah,” ungkap Nararya Soeprapto, Director Global Government Relations and Public Policy & Corporate Affairs at Procter & Gamble. Bahkan, banyak perusahaan tech startup di Indonesia yang menghadirkan ruang kerja dengan desain menarik -dilengkapi dengan gym, video games, meja biliar, bahkan ruang tidur- sehingga karyawan merasa nyaman jika kalau harus ke kantor.

Seperti layaknya dunia pemasaran, EVP harus menjadi bukti dan bukan sekadar janji. Jika perusahaan membuat berbagai EVP beserta turunannya, namun tidak bisa menjalankan, bisa dipastikan karyawan tidak akan betah. Sehingga, turn over menjadi tinggi. Celakanya, mantan karyawan Anda bisa bercerita kapan saja bahwa bekas tempat dia bekerja layaknya ‘neraka’. Informasi itu sangat mudah menyebar sehingga semakin sulit bagi perusahaan untuk menjaring talenta terbaik. Jika pun ada yang mau, perusahaan harus mengeluarkan biaya yang mahal.

Tentunya perusahaan sangat menyayangkan jika karyawan yang telah mengerti cara kerja perusahaan, dilatih sedemikian rupa, bahkan mengerti ‘urusan dapur perusahaan’ harus pergi begitu saja. Kondisi akan semakin menyakitkan jika mereka pindah ke kompetitor. Ujungnya, kita harus menjaring karyawan baru, membayar dengan gaji yang lebih tinggi, hingga memberikan pelatihan kembali.

Intinya employer branding harus menjadi perhatian khusus bagi perusahaan di tengah ketatnya persaingan mencari talenta. Dan, ini bukan tugas dari divisi human resources semata, melainkan menjadi tugas dari seluruh karyawan, baik dari atas hingga bawah.

 

 

Simak ulasan lengkapnya pada
Majalah Marketeers edisi Februari 2019
dengan tajuk Employer Branding for Millennials

Related