Magnum, merek es krim dari Wall’s meluncurkan varian terbaru, yaitu Red Velvet. Varian baru biasanya memang membantu meningkatkan penjualan. Di tengah banyaknya pesaing, apa manuver Magnum?
Product cycle atau siklus produk harus menjadi perhatian bagi brand es krim. Pasalnya, es krim merupakan salah satu produk consumer goods yang impulsif, alias pembelian yang tidak direncanakan. Hadirnya varian baru diharapkan dapat menarik atensi konsumen untuk membelinya.
“Setidaknya, dalam setahun ada satu varian baru Magnum,” ujar Riescha Puri Gayatri, Brand Manager Magnum kepada Marketeers.
Seperti pada peluncuran sebelumnya, Magnum Red Velvet selalu menggandeng fashion demi menggaet pleasure seekers, sebutan merek ini bagi para konsumennya. Asosiasi Magnum dan fashion membuat positioning-nya sebagai mass-tige (produk mass namun prestige) kian melekat.
Untuk Magnum Red Velvet ini, Wall’s menggandeng desainer Mel Ahyar yang berkolaborasi dengan penyanyi Andien untuk mengkreasikan pakaian pria dan wanita bercorak cerah. Kali ini pula, Magnum juga bermitra dengan vlogger dan beautypreneur Lizzie Parra, melakukan co-branding dengan merek lipstik BLP.
Co-branding ini menghadirkan lip coat (pewarna bibir) dengan shade Red Velvet. “Saya selalu menciptakan shade yang terinspirasi oleh dessert. Dan kebutulan shade terakhir yang saya buat sesuai dengan varian terbaru Magnum, yaitu Red Velvet,” kata Lizzie.
Kesempatan ini juga dimaksimalkan Magnum lewat kolaborasi dengan toko kue Collette & Lola milik Grup Ismaya. Magnum menciptakan red velvet cake untuk dijual di setiap gerai toko tersebut.
Untuk mempromosikan produk baru ini, Magnum melakukan aktivasi below the line di pusat belanja Gandaria City, Jakarta Selatan. Di atrium utama mal tersebut, Magum membuat taman bermain mini yang mengajak pengunjung untuk merasakan kesan playful yang ingin dibawa Magnum Red Velvet.
Penuh persaingan
Aktif menelurkan varian baru menandakan bahwa Magnum masih optimistis dengan pasar es krim dalam negeri. Lima tahun lalu, pasar es krim non-premium terbilang cukup sepi pemain. Brand yang berkecimpung di kategori ini hanya terdapat empat merek utama, yaitu Wall’s sebagai market leader, Campina sebagai kompetitor utama, serta Diamond dan Indoeskrim Meiji. Selain itu, terdapat merek-merek lokal yang secara volume cukup kecil.
Setahun belakangan, investasi asing di sektor es krim mulai terlihat. Seperti Ezaki Glico, perusahaan asal Jepang yang melakukan Joint Venture dengan Wings Group meluncurkan es krim Wings Glico. Perusahaan yang dikenal sebagai produsen makanan ringan Pocky itu melihat pasar es krim nasional masih terbuka lebar.
Berdasarkan Nielsen Retail Data 2015, pertumbuhan kategori es krim di Indonesia sepanjang tahun 2012-2015 mencapai 16% per tahun. Akan tetapi, konsumsi kudapan berbahan dasar susu itu hanya tumbuh 0,1 liter per tahun. Angka tersebut cukup rendah apabila dibandingkan dengan pertumbuhan negara-negara lain.
Hidekazu Kawashima, Presiden Direktur Glico Wings mengatakan, “Kami sudah hadir sejak November 2016 di Pulau Jawa dan Sumatera dengan harga jual dari Rp 1.000 hingga Rp 10.000 per piece,” ucapnya saat peluncurannya beberapa bulan lalu.
Menghadapi persaingan tersebut, Wall’s berkomentar bahwa kehadiran pemain baru dapat memperbesar market size dari kategori es krim di nusantara. “Artinya, market bergairah. Banyak pihak yang akhirnya membantu mengedukasi es krim,” ujar Riescha.
Dia bilang, meski mulai dijejaki pemain baru, Wall’s yakin masih mampu mempertahankan posisinya sebagai market leader. Merek di bawah naungan raksasa Unilever itu menggenggam 68% market share es krim di Indonesia.
“Kuncinya adalah produk yang berkualitas. Kami yakin produk kami disukai konsumen,” tuturnya.
Sebenarnya bukan hanya Glico saja yang baru masuk pasar nasional. Kabar terakhir, perusahaan es krim terbesar Ukraina, RUD Ice-Cream, berencana menanamkan investasinya di Sidoarjo, Jawa Timur, untuk membangun pabrik es krim. Begitupun dengan beberapa perusahaan susu asal Belgia.
Jika diamati, pemain baru seperti Glico masuk justru bukan dari kota besar, melainkan kota-kota kecil lewat general trade alias warung-warung atau kios yang dimiliki warga.
Untuk modern trade, rasanya pemain baru akan sulit bergerak, lantaran pemain lama sudah cukup kuat menguasai channel tersebut. Logikanya, cukup sulit apabila dalam satu gerai minimarket, terdapat tiga atau empat chiller es krim.
Apakah pasar es krim akan semakin bergairah dalam beberapa tahun ke depan? Kita lihat saja. Akan tetapi, yang menjadi tantangan es krim saat ini adalah alam. Mengapa? Efek La Nina yang membuat musim penghujan berlangsung lebih lama di Khatulistiwa mempengaruhi permintaan es krim. Kudapan yang sangat pas apabila dinikmati ketika cuaca panas.