Oleh Denny Malinton, Co-founder BUFF Indonesia
Kata esports mungkin tidak asing di telinga kita dan telah menjadi budaya yang erat bagi generasi muda, khususnya generasi Z dan Alpha. Pesatnya perkembangan esports atau olahraga elektronik tidak lepas dari peran perusahaan pengembang gim kompetitif yang aktif mengadakan ajang turnamen dengan hadiah bernilai fantastis. Hal inilah yang akhirnya menciptakan euphoria di kalangan gamer, ada yang membentuk tim-tim profesional dan ada yang gemar menyaksikan tayangannya di platform streaming maupun hadir langsung secara fisik.
Jumlah populasi gamer yang masif juga jadi alasan lingkungan kompetitif ini hidup. Seperti dilansir Hybrid.co.id, tidak main-main, terdapat 3,5 miliar pemain gim yang tersebar di seluruh penjuru dunia. Mereka inilah yang membuat pasar gaming global dapat memperoleh keuntungan hingga US$ 176 triliun (Newzoo, 2021) dan menjadi ‘bahan bakar’ bagi perusahaan gim untuk mengadakan ajang-ajang esports yang spektakuler. Valve Corporation salah satunya, perusahaan pengembang gim daring DOTA 2 menjadi pemegang rekor nomor 1 dalam nilai hadiah terbesar. Pada turnamen yang dinamakan “The International” tahun 2019, acara yang paling ditunggu-tunggu para atlet dan penggemar DOTA 2 ini menawarkan total hadiah hingga US$ 34 juta.
Di Indonesia sendiri, banyak tim-tim esports bermunculan dan turut mewarnai kompetisi lokal maupun dunia. Nama-nama yang tidak asing, seperti EVOS, RRQ, Alter Ego, Boom, ONIC, Bigetron, dan lain sebagainya berhasil mengukir prestasi yang luar biasa. Tim Alter Ego dan RRQ terlihat berlaga di ajang internasional Turnamen Mobile Legends Bang Bang (M2) tahun 2020. Seperti yang dilansir Indosport.com, tim Bigetron dengan dua pemain andalnya, Zuxxy dan Luxxy, sempat mengharumkan nama bangsa saat menjadi juara di ajang PUBG Mobile Global Championship (PMGC) pada tahun 2020.
Hal-hal ini terasa manis bak madu bagi Indonesia. Namun, negara dengan populasi gamer keempat terbesar di dunia, yaitu dengan angka 116 juta jiwa (Newzoo, 2021) atau hampir setengah dari keseluruhan jumlah penduduk negara ini, masih memiliki banyak tantangan saat ikut mewarnai lanskap kompetitif. Terlihat dari ekosistem esports lokal yang bisa dikatakan belum terbentuk dengan baik. Mulai dari sistem regenerasi atlet hingga pembinaan mental para gamer yang masih kurang, menjadi penyebab skena esports kerap disebut “racun negeri”.
Esports yang menggunakan video game sebagai medium, tidak membuatnya sama dengan budaya gaming. Gaming memiliki arti bermain video game di media komputer atau perangkat elektronik lainnya (Cambridge Dictionary), sedangkan esports merupakan lanskap kompetitif di mana sekumpulan orang saling beradu keahliannya dalam bermain gim untuk meraih hadiah di sebuah ajang turnamen. Kesalahan pemaknaan ini yang akhirnya tercermin pada tingkah laku gamer yang kurang terpuji, mengatasnamakan esports sebagai kedok kecanduan bermain gim mereka.
Lantas stigma negatif gaming inilah yang menghantui perkembangan esports tanah air. Keberhasilan dan penghasilan besar para atlet esports serta pemain gim profesional, tidak kemudian mencelikan mata orang tua untuk mendukung anaknya masuk ke arena ini. Pasalnya, bermain video game sudah dicap sebagai kegiatan tidak berguna dan merusak prestasi akademis. Hal ini berbanding terbalik dengan Filipina, di mana keahlian dan prestasi dalam bermain gim dapat membuat gamer menerima beasiswa senilai US$ 1.000 di berbagai universitas ternama di negara tersebut seperti yang dilansir Oneesports.gg.
Itulah sebabnya pemerintah dan akademisi berperan penting dalam mengedukasi orang tua tentang masa depan cerah gaming melalui esports dan menyadarkan para gamer bahwa prestasi akademis adalah penunjang prestasi mereka di lanskap kompetitif. Kenyataannya, para atlet di tim esports profesional adalah mereka yang memiliki prestasi akademis yang baik. Para brand sebagai salah satu komponen ekosistem esports pun dapat ikut andil dalam hal tersebut.
Merek dapat menghadirkan berbagai aktivitas bermanfaat saat penetrasi audiens gamer. Mulai dari menjadikan beasiswa sebagai hadiah dari turnamen yang umumnya diadakan, hingga membentuk tim esports profesional seperti Red Bull Rebellion yang dibina untuk menjadi panutan. Hal-hal ini yang kemudian dapat perlahan membantu terhapusnya stigma negatif dan membangun ekosistem esports yang lebih baik di Indonesia.
Indonesia dapat disebut tanah air para juara, terlihat dari prestasi yang diraih serta banyaknya bibit unggul atlet esports. Tanpa adanya perhatian khusus, tanah air kita sudah menunjukkan potensi luar biasa. Sekaranglah saatnya pemerintah, para akademisi hingga merek berupaya menciptakan ekosistem yang sehat demi mengecap manisnya perkembangan esports pada tahun ini dan masa yang akan datang.
*Rubrik ini merupakan rubrik kolaborasi Marketeers x GDP