Debranding makin ramai dilakukan oleh para perusahaan besar, seperti Toyota, McDonalds hingga KIA. Menurut Kipling Media, debranding adalah ketika perusahaan melakukan penyederhanaan logo melalui pengurangan beberapa detail.
Ignatius Untung, Praktisi Marketing dan Behavioral Science memaparkan beberapa penyebab dari fenomena debranding ini. Pertama, perubahan tren desain di beberapa waktu ke belakang.
Tren desain saat ini jauh lebih sederhana dibandingkan sepuluh tahun lalu yang memiliki desain lebih all out dan menonjolkan 3D.
“Trend design saat ini lebih banyak flat design, minim gradasi, warna-warna solid, dan simple,” ujar Untung dalam program Market Think di kanal Youtube Marketeers TV, dikutip Senin (22/5/2023).
Flat design yang ditawarkan ini ternyata memiliki banyak manfaat. Salah satunya adalah membuat logo menjadi lebih universal karena dapat disesuaikan dengan berbagai kebutuhan pemasaran dan komunikasi perusahaan.
Kebutuhan ini meliputi packaging, produk, website hingga iklan. Kedua, kebutuhan akan visual desain digital yang baru mampu menampilkan warna yang jauh lebih umum, seperti tampilan warna di website.
Warna yang terlalu beragam dengan color mode kompleks akan membuat website menjadi lebih lama dalam memproses data. Itulah dua penyebab utama munculnya debranding dari segi tren dan teknikal.
Dari kedua ini, muncullah istilah yang disebut bandwagon effect, yaitu efek ketika seseorang berusaha mengikuti sesuai yang sedang trending. Hal ini didukung oleh bagaimana persepsi seseorang menerjemahkan sesuatu yang dilihatnya.
Ketika suatu perusahaan meluncurkan produk baru, maka produk lama akan dianggap kuno, retro, dan jadul. Hal ini berlaku juga dengan persepsi seseorang dalam melihat sebuah logo.
Logo yang sudah lama dan belum melakukan transformasi, maka akan dianggap jadul dan kurang relevan. Hal ini sangat berpengaruh dengan bagaimana konsumen mempersepsikan produk dan logo suatu produk, bahkan memengaruhi keputusan pembelian.
BACA JUGA: Logo: Pengertian, Fungsi dan Kriteria dalam Membangun Branding
Ketika brand tidak mengikuti fenomena yang sedang berkembang ini dan belum memiliki kekuatan brand image yang kuat, maka merek bisa saja ditinggalkan oleh pelanggan. Penerapan debranding yang banyak dilakukan oleh perusahaan ini jelas berdampak bagi konsumen, yaitu processing fluency atau logo menjadi lebih mudah diingat oleh konsumen.
“Processing fluency adalah ketika sebelumnya logonya terlihat ribet lalu menjadi simple. Otomatis jadi gampang diingat. Semakin rumit logo, semakin butuh waktu otak kita untuk mengingatnya,” ujar Untung.
Sebagai contoh adalah logo ‘Seven Eleven’ yang memiliki tiga warna, yaitu merah, oranye, dan hijau. Logo ini termasuk logo dengan detail yang cukup rumit sehingga sulit diingat oleh konsumen.
Logo yang rumit malah dapat menimbulkan opportunity lost yang mana brand akan sulit membangun memori tentang produk dan merek di benak konsumen. Hal ini akan sangat menyangkut dengan font, color, bentuk, dimensi, dan semua komponen yang membangun sebuah logo.
“Otak memang butuh waktu untuk mengenali sebuah objek. Semakin kompleks, semakin butuh waktu untuk mencerna,” ucapnya.
Dengan memahami debranding ini, Anda dapat menjadi lebih mengerti saat logo berubah dari kompleks menjadi sederhana tentu tidak hanya sekadar ingin berbeda. Anda harus mengetahui konsekuensi saat ingin mengikuti tren atau tidak.
Jika mengikuti tren, apa alasan di belakangnya sehingga logo juga dapat menjadi sebuah representasi dari tujuan perusahaan.
BACA JUGA: 7 Tips Membangun Brand Attraction dengan DNA Brand yang Kuat
Editor: Ranto Rajagukguk