Oleh Hermawan Kartajaya, Founder and Chairman M Corp
Pre: Ready Player One VS. Spiderman
Anda sudah pernah nonton film Ready Player One? Bagi saya, itulah gambaran dari metaverse. Film karya Steven Spielberg ini bercerita tentang dunia masa depan yang mana manusia bisa bermain di dalam jagad virtual tiga dimensi.
Di dunia tersebut, Anda bisa memilih avatar tertentu untuk mewakili kehadiran Anda di sana. Dunia semacam itu mungkin akan segera menjadi kenyataan.
Karena itulah secara khusus saya meminta Iwan Setiawan, CEO Marketeers untuk menyiapkan konsep Meta-Marketing. Konsep ini akan menjadi cikal bakal buku Marketing 6.0 yang akan kami tulis bersama Prof. Philip Kotler nanti.
Namun, saya percaya bahwa saat ini kita masih berproses menuju ke sana. Sementara, yang sudah ada di depan mata kita saat ini adalah multiverse (multiple universes).
Jika Anda sudah menonton film Spiderman 3: No Way Home, tentu terminologi ini sudah tidak asing lagi. Di dalam film ini diceritakan bagaimana sebuah ketidaksengajaan telah membuka celah yang menghubungkan dunia saat ini dengan dunia pararel (other universes).
Gara-gara itu, Spiderman bisa bertemu dengan versi lain dirinya dari universe lain. Di dunia bisnis saat ini, kita juga hidup di dalam multiverse, dunia nyata dan dunia maya.
Pandemi yang dimulai sejak tahun 2020 lalu sesungguhnya telah menciptakan celah yang semakin lebar di antara kedua dunia tersebut. Keduanya tetap terpisah, namun memiliki hubungan yang makin erat. Selamat datang di multiverse.
Why: Business Is Digital Anyway
Awal Januari lalu, saya kedatangan tamu istimewa, seorang Regional Managing Director sebuah perusahaan fast moving consumer goods (FMCG) ternama. Banyak hal yang kami diskusikan, salah satunya mengenai pemanfaatan teknologi digital di dalam pemasaran.
BACA JUGA: 3 Hal Ini Jadi Aspek Penting dalam Tren Pemasaran
Ternyata, berbeda dengan pemain bisnis dari industri lainnya, perusahaannya justru masih lebih banyak menggunakan media konvensional untuk komunikasi pemasaran. Alih-alih menggunakan media sosial, produk-produknya yang sudah merambah pasar Asia justru lebih banyak menggunakan iklan di televisi.
Media konvensional memang dianggap masih lebih efektif untuk membangun awareness sekaligus menciptakan daya tarik (appeal) bagi produk-produk tertentu, terutama yang masuk dalam kategori FMCG. Iklan di media sosial memang memiliki akurasi tinggi karena bisa menarget audiens dengan profil yang lebih spesifik. Harapannya, konversi ke dalam penjualan juga akan lebih tinggi.
Namun, profil audiens yang terlalu spesifik kurang tepat diaplikasikan bagi produk-produk consumer goods yang butuh jangkauan seluas-luasnya, baik dalam bentuk komunikasi pemasaran maupun saluran distribusi.
Lalu, apakah perusahaan-perusahaan di industri FMCG cukup menggunakan pendekatan iklan tradisional saja? Tentu saja tidak. Perkembangan media digital tetap membuka peluang bagi bentuk-bentuk baru iklan.
Sebagai contoh, P&G sejak sebelum pandemi terus berupaya mengembangkan bentuk-bentuk baru iklan yang lebih kreatif. Iklan-iklan tradisional memang selalu dianggap gangguan (clutter). Untuk itu, P&G membuat pesan iklan dalam bentuk film-film pendek yang menarik. Harapannya, calon konsumen tidak akan menghindarinya.
Perkembangan layanan online streaming juga membuka peluang media beriklan yang baru. Untuk menjangkau segmen menengah ke atas. Saat ini, banyak perusahaan kosmetik yang melakukan product placement di web series maupun serial drama yang disiarkan lewat layanan video streaming, seperti Netflix, Viu, WeTV, dan sebagainya.
Produk perusahaan muncul dalam adegan-adegan tokoh utama. Tidak hanya web series lokal, beberapa perusahaan di Indonesia bahkan sudah berani melakukan product placement di serial drama Korea.
Intinya, saat ini digitalisasi memang sudah tidak bisa dihindari. Namun, setiap perusahaan memiliki jalannya sendiri.
Tidak ada satu formula yang bisa diterapkan secara general ke semua perusahaan. Inilah yang saya sebut multiverse.
What: Offline+ VS. Online+
Meskipun ada beragam tahapan dan metode untuk menerapkan digitalisasi di dalam bisnis, secara umum perusahaan bisa memulainya dari dua sisi yang berbeda. Sisi pertama adalah perusahaan berbasis bisnis offline yang ingin go online.
Dengan adanya pergeseran perilaku masyarakat ke media digital, dalam berkomunikasi, berbelanja, belajar, mencari hiburan maupun menggunakan jasa kesehatan, maka produsen serta penyedia jasa konvensional juga harus menyesuaikan diri. Inilah universe pertama yang saya istilahkan dengan offline+. Inilah dunia konvensional yang bergerak ke digital.
BACA JUGA: Ciptakan Value Abadi ke Pelanggan, Pahami Aspek Penting Pelayanan
Sedangkan sisi yang kedua adalah perusahaan yang sejak awal sudah menggunakan model bisnis berbasis teknologi digital. Contohnya, adalah digital bank yang makin banyak bermunculan selama pandemi ini.
Setelah dulu kita mengenal Jenius dari BTPN, sekarang di Indonesia juga sudah ada Wokee, Digibank, TMRW, Bank Jago, MotionBanking, Bank Aladin Syariah, dan digital bank lainnya. Meskipun basis utama bisnis mereka ada di dunia digital, saya tetap percaya bahwa bank-bank tersebut juga membutuhkan kehadiran di dunia nyata.
Entah dalam bentuk promosi maupun offline channel yang menjadi sarana bagi perusahaan untuk membangun kepercayaan pelanggan. Meskipun dalam skala yang terbatas, mereka juga akan bergerak untuk hadir lebih banyak di dunia nyata.
Universe kedua ini saya sebut online+. Inilah dunia digital yang bergerak ke dunia nyata.
How: IKEA VS. Amazon
IKEA adalah contoh perusahaan offline+. Perusahaan yang dikenal sebagai salah satu ritel furnitur terbesar di dunia ini tergolong sudah berusia tua.
Berdiri di Swedia sejak tahun 1943, saat ini IKEA telah hadir secara fisik di sekitar 50 negara. Total, ada lebih dari 420 toko yang tersebar di berbagai negara.
Dalam rangka untuk menjangkau lebih banyak konsumen digital, IKEA hadir dengan katalog produk yang bisa dilihat secara online, baik melalui website maupun aplikasi mereka. Pelanggan juga sudah bisa melakukan pembelian produk-produk IKEA, tanpa harus hadir langsung di tokonya.
Namun, tentu saja ada experience yang hilang jika pelanggan tidak hadir secara fisik di toko IKEA. Pengalaman memegang dan mencoba produk secara langsung tidak akan bisa didapatkan oleh mereka yang berbelanja secara online.
Untuk itulah, IKEA juga telah mengembangkan aplikasi yang didukung dengan teknologi augmented reality. Dengan aplikasi ini, pelanggan bisa melakukan simulasi penempatan furnitur baru di dalam ruangan rumahnya. Cukup dengan mengarahkan layar smartphone ke ruang yang diinginkan.
Selanjutnya, pelanggan bisa melihat apakah furnitur tertentu cocok untuk ditempatkan di sana. Inilah contoh perusahaan konvensional yang bergerak ke digital.
Eksistensinya secara fisik tetap dipertahankan. Namun, pelanggan juga diberikan alternatif untuk melihat, memilih, mencoba, serta membeli produk melalui saluran digital. Kisah sebaliknya ditunjukkan oleh Amazon.
Di Marketeers edisi sebelumnya, saya sudah pernah bercerita tentang pengalaman jalan-jalan ke Amerika akhir tahun lalu. Salah satu pengalaman yang berkesan adalah saat menjajal pengalaman berbelanja di toko-toko fisik milik Amazon.
Raksasa e-commerce Amerika ini memang terus melebarkan kehadirannya di dunia nyata. Salah satunya lewat Amazon Go. Di Amazon Go, pengalaman berbelanja offline dipadukan dengan kecanggihan teknologi.
Sehingga, Anda tidak perlu lagi mengantre di kasir. Anda tinggal ambil barang dan pergi.
Amazon juga punya inisiatif lain di dunia nyata dalam bentuk Amazon Pop Up serta Amazon 4 Star. Di Amazon Pop Up, Anda bisa mencoba produk-produk Amazon secara langsung sebelum membelinya.
Sedangkan di Amazon 4 Star Anda akan bisa menemui produk-produk pilihan dari Amazon.com yang nilai ratingnya minimal 4. Inilah contoh perusahaan digital yang bergerak ke dunia offline.
Dalam rangka membangun interaksi lebih banyak di kehidupan nyata pelanggan, pemain-pemain online ini mulai menghadirkan berbagai program atau event yang bersifat fisik. Inilah contoh perusahaan online+.
Post: Layangan Putus VS. 3 Principles
Jika di awal saya sempat menyinggung film dari Barat yang sempat trending beberapa waktu lalu, maka sebagai penutup saya akan membahas sebuah film lokal yang juga sempat viral. Apalagi kalau bukan Layangan Putus.
Tidak hanya viral di Indonesia, serial ini juga memuncaki trending di 14 negara lainnya. Negara tersebut, antara lain Amerika Serikat, Malaysia, Belanda, Singapura, Hong Kong, Australia, Jepang, Jerman, Prancis, Turki, Rusia, Austria, Belgium, dan New Zealand.
Tidak hanya itu saja, serial yang dibintangi Reza Rahadian dan Putri Marino ini juga menempati posisi trending ke-2 di Uni Emirat Arab, Inggris, Swiss, dan Swedia. Setidaknya, ada tiga hal yang menjadikan serial ini begitu fenomenal.
Saya akan membahasnya berdasarkan tiga prinsip sukses di era multiverse yang saya perkenalkan saat acara MarkPlus Conference 2022 lalu.
Principle 1: Marketing is digital anyway
Kesuksesan Layangan Putus memang tidak lepas dari kepiawaian para pemainnya. Namun, peran tim pemasaran juga tidak bisa diabaikan.
Promosi kreatif melalui berbagai media sosial menjadikan serial ini lebih cepat dikenal dan akhirnya viral. Di era saat ini, komunikasi pemasaran memang tidak mungkin dilakukan tanpa melibatkan media digital.
Coba cek ke pemirsa serial ini. Saya yakin tidak sedikit di antara mereka yang awalnya tertarik karena melihat potongan adegannya di Tiktok. Mungkin Anda juga salah satu di antara mereka?
Principle 2: Only humanity differentiates you from other Marketeers, to create impact
Perselingkuhan yang menjadi topik utama serial ini sebenarnya bukan hal baru di jagad perfilman. Sudah banyak film maupun serial drama sebelumnya yang mengangkat kisah serupa.
Namun, Layangan Putus memiliki keistimewaan karena bisa menyorot konflik personal dari setiap tokoh secara lebih dekat. Tidak hanya dilema Kinan sebagai korban, Anda juga diajak untuk menyimak kegalauan Aris dan Lidya sebagai pelaku perselingkuhan.
Sisi manusiawi dari setiap pemain inilah yang membuat pemirsa semakin teraduk-aduk emosinya. Terutama, para ibu-ibu yang geregetan ingin menjambak Aris.
Principle 3: Are you ESG-strategic or just story-telling tactical?
Konten yang menjadikan serial ini viral banyak bertebaran di lini media sosial kita. Ada yang berupa potongan video, gambar meme, ataupun sekadar kutipan kata-kata dari para pemainnya.
Namun, saya melihat bahwa serial ini disusun dengan strategi pemasaran yang rapi. Berbeda dengan serial Ikatan Cinta yang juga sempat trending sebelumnya, Layangan Putus sebenarnya menarget segmen pemirsa yang memiliki status sosial ekonomi lebih tinggi.
Itulah kenapa media yang dipilihnya adalah online streaming service WeTV, bukan stasiun televisi konvensional. Seringnya muncul potongan dialog dalam bahasa Inggris juga makin menegaskan segmentasi dari serial ini.
Jadi, itulah tiga prinsip yang bisa Anda jadikan pegangan untuk mengarungi bisnis pada tahun 2022 ini. Tidak hanya tentang liku-liku percintaan, sesungguhnya Layangan Putus juga memberikan pelajaran berharga tentang pemasaran.
Artikel ini telah tayang di Majalah Marketeers edisi Februari 2022.