Amerika Serikat (AS) tengah mengalami ancaman resesi ekonomi yang ditunjukkan dengan naiknya inflasi. Untuk menangani permasalahan tersebut, Federal Reserve (The Fed) akan menaikkan tingkat suku bunga secara agresif dalam waktu dekat.
Ferry Salanto, Head of Research Colliers Indonesia menuturkan kebijakan tersebut telah berdampak pada kenaikan bahan baku properti di Tanah Air. Sebagian besar material yang harus diimpor dari luar negeri mengalami kenaikan 5% hingga 10%.
“Harga bahan baku sudah ada penyesuaian harga sekitar 5% sampai 10% karena gejolak ekonomi di AS. Kalau ini berlangsung sampai berapa saat kemungkinan akan berimbas pada harga jual propertinya juga, padahal kan sekarang kemampuan masyarakat untuk membeli juga tidak sebagus sebelum pandemi COVID-19. Jadi memang pukulan yang bertubi-tubi bagi industri properti,” ujar Ferry kepada Marketeers, Senin (1/8/2022).
Menurutnya, dampak kenaikan tingkat suku bunga masih belum berdampak langsung pada penjualan properti. Sebab, Bank Indonesia (BI) masih belum menerapkan kebijakan serupa. Hanya saja, apabila kondisi makin tidak menentu BI pun terpaksa bakal mengambil kebijakan yang sama.
Alhasil, kata Ferry, akan berdampak pada penjualan harga properti secara langsung, yakni naiknya uang muka dan cicilan rumah. Kendati demikian, dia masih belum menghitung berapa perkiraan kenaikan cicilan yang bisa terjadi ketika kondisi ekonomi makin memburuk.
“Saya belum punya angkanya untuk menghitung berapa kenaikannya tapi ini bukan reaksi yang instan. Biasanya nanti butuh reaksi beberapa saat dan itu ada reaksi dari market. Jadi kita semua harus tunggu semoga ini tidak terlalu panjang sehingga efeknya tidak terlalu terasa,” ujarnya.
Lebih lanjut, Ferry menjelaskan dewasa ini industri properti baik skala nasional maupun internasional mengalami situasi yang dilematis. Kenaikan harga tidak bisa serta-merta dilakukan para pengembangan lantaran akan kehilangan pasar.
Di sisi lain, jika para pengembang tak menaikkan harga jual dan cicilan mereka akan menanggung kerugian yang sangat besar. Terlebih lagi, biaya perawatan rumah yang belum terjual diklaim cukup tinggi.
“Jadi semuanya serba salah, sehingga harus ada yang mengalah terlebih dulu. Dalam hal ini para pengusaha yang terpaksa harus mengalah untuk tidak menaikkan harga dan cicilan agar masyarakat mau membeli rumah. Namun, saat kondisi ekonomi mulai membaik dan konsumsi meningkat akan dilakukan penyesuaian cicilan,” tuturnya.
Editor: Ranto Rajagukguk