Go-Jek Pun Berawal dari Sebuah Call Center

marketeers article
A Gojek driver rides his motorcycle through a business district street in Jakarta, June 9, 2015. Jakartas traffic jams are a constant vexation for the citys 10 million residents. The Indonesian capitals glaring inefficiencies have also created opportunities for the likes of Makarim, who has launched a smartphone app, GO-JEK, that lets users summon a motorbike rider to weave them quickly through gridlocked traffic, deliver a meal or even get the shopping. Picture taken June 9, 2015. REUTERS/Beawiharta

Siapa sangka apabila Go-Jek, startup buatan anak negeri berawal dari sebuah call center yang menghubungkan pengguna ojek dengan para ojek pangkalan.

Cara kerjanya begitu sederhana. Si pengguna menelopon call center Go-Jek untuk meminta penjemputan. Lalu, customer service akan menghubungi para ojek yang bisa menjemput pesanan ojek tersebut.

“Satu pesanan bisa memakan waktu 20 hingga 30 menit. Bayangkan, begitu repotnya jika pesanan ojek banyak sekali,” ujar Vice President of Technology Product Go-Jek Alamanda Shantika Santoso atau Ala saat memberikan pemaparannya di acara The NextDev 2016 #UntukSurabaya di Gedung Pusat Robotika ITS, Selasa, (2/8/2016).

Ide itu, kata Ala, berawal pada tahun 2010, ketika Founder Go-Jek Nadiem Makarim kembali ke Ibukota setelah menyelesaikan studinya di Harvard University. Saat itu, Nadiem kerap menggunakan jasa ojek sekitar rumah untuk mengantarnya menuju kantor.

Suatu hari, Nadiem sempat bertanya pada Pak Mulyono, ojek langganannya. “Apa masalah terbesar ojek, Pak?” katanya. Nadiem pun memperoleh jawaban bahwa dua masalah utama yang dihadapi kebanyakan pengojek yaitu waktu menunggu pesanan yang lama serta jumlah orderan yang sedikit. Hal itu membuat waktu mereka habis untuk sekadar menunggu.

Dari masalah tersebut, Nadiem mencoba untuk membantu para pengojek mendapatkan lebih banyak orderan lewat call center. Akan tetapi, model kerja seperti itu tidaklah efisien. Apalagi, kala itu, Nadiem masih bekerja di perusahaan lain, yaitu ritel e-commerce Zalora.

“Poin dari kemunculan Go-Jek adalah bahwa problem is opportunity. Masalah di sekitar Anda bisa menjadi peluang bisnis bagi Anda untuk memulai startup,” ungkap Ala.

Ala yang berlatar belakar Teknologi Informasi dan web design ini mengaku diajak Nadiem untuk membuat aplikasi Go-Jek pertama kali. Tantangannya saat itu adalah bagaimana para pengojek akrab menggunakan smartphone Android.

“Dengan segala kekurangan yang ada saat itu, Go-Jek pun mendapat pendanaan pada Maret 2014 dan aplikasinya mulai diluncurkan pada Januari 2015,” kenang Ala yang sempat bekerja di berbagai startup seperti Berrybenka dan Kartuku.

Go-Jek bisa dibilang hadir di saat yang tepat. Bak kejatuhan durian runtuh, pertumbuhan Go-Jek melebihi ekspektasi para founder-nya. Begitu juga dengan jumlah supir Go-Jek yang meningkat berkali-kali lipat. Dari 500 pengemudi saat sebulan pendiriannya, kini Go-Jek menaungi 250.000 pengemudi yang tersebar di 14 kota di Indonesia.

“Masalah awal Go-Jek adalah overdemand. Pertumbuhan yang tinggi membuat kita sempat kewalahan dalam menjaga kapasitas server. Aplikasi Go-Jek dulu sering mati, karena tak kuat menampung lonjakan trafik Go-Jek per harinya,” ceritanya.

Kini, Go-Jek mengantongi jutaan pengguna. Bahkan, Ala mengaku bahwa aplikasi Go-Jek pernah diuggah sebanyak 11 juta kali dalam waktu 15 menit. Media Director Consumer Choices GfK Indonesia pernah mencatat bahwa 21,6% dari pengguna aplikasi teknologi di Indonesia adalah pengguna Go-Jek.

Di tambah lagi, Go-Jek kini mulai memosisikan diri tidak lagi sebagai aplikasi ride sharing, melainkan sebagai on-demand services apps, mulai dari Go-Food, Go-Box, Go-Glam, Go-Clean, dan Go-Massage.

“Kami juga awalnya tak menyadari bahwa revenue stream Go-Jek tidak lagi hanya dari jasa ride sharing, namun juga dari merchant yang menggunakan jasa Go-Food,” terang lulusan Universitas Bina Nusantara jurusan Artificial Intelligence ini.

Padahal, Go-Food diciptakan juga berdasarkan permasalahan sederhana, yang mana masyarakat sulit untuk bisa mengorder makanan dari restoran yang tidak memiliki jasa pengiriman (delivery service).

Lantas, seperti apa masa depan Go-Jek? Exit strategy seperti apa yang akan dilakukan Nadiem? Ala menyatakan, kemungkinan terbesar yang dilakukan Go-Jek ke depan adalah melakukan initial public offering (IPO) atau penawaran saham perdana.

Jika itu terjadi, hal tersebut dapat mengantarkan Go-Jek sebagai perusahaan teknologi asal Indonesia yang behasil go public. Kita lihat saja.

Editor: Sigit Kurniawan

Related