Oleh Agung Laksamana,
Ketua Umum BPP Perhumas Indonesia
“When written in Chinese, the word ‘crisis’ is composed of two characters.
One represents danger and the other represents opportunity
John F. Kennedy, Presiden AS ke-35
Dalam acara Coffee Morning Perhumas sekitar tahun 2015, saya berbincang dengan Prof. Firmanzah yang sekarang menjadi Rektor Universitas Paramadina. Beliau akrab dipanggil Fiz, lulusan Perancis dan pernah menjadi dekan termuda Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Kami membahas tentang Industri Public Relations (PR) dan ekonomi.
Prof. Fiz menjelaskan seperti ini, “Mas Agung, perkembangan industri PR itu berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi kita!”
“Maksudnya bagaimana, Mas?” saya minta beliau menerangkan lebih lanjut.
“Begini Mas Agung. PR itu masuk dalam kategori industri jasa dan pelayanan. Jika pertumbuhan ekonomi nasional naik di angka 6% maka hal ini juga akan berdampak positif pada industri PR, marketing dan advertising. Selanjutnya, kita akan menyaksikan tren munculnya produk-produk baru, baik properti, consumer goods atau jenis mobil baru. Semua itu otomatis membutuhkan keahlian skill PR untuk menaikkan brand awareness, baik dengan launching produk atau jasa konsultasi lainnya,” kata Penasihat Ekonomi di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu.
Kemudian beliau menambahkan, “namun Mas, demikian pula sebaliknya. Jika pertumbuhan ekonomi turun, PR dan iklan pun akan terkena dampak secara otomatis!”
Saya teringat diskusi yang rasanya seperti baru kemarin. Dan, dalam situasi pandemi COVID-19, hal ini menjadi relevan. Terlebih lagi, Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan turun ke 2,3%, bahkan yang terburuk bisa negatif 0,4%. Mau tidak mau, industri PR harus antisipasi dan bersiap diri.
Yang pasti, COVID-19 telah mengubah dunia. Tidak ada yang bisa memastikan kapan vaksin dari COVID-19 ini tersedia di pasar. Akhirnya, lanskap industri PR termasuk praktisi PR dipaksa untuk segera berubah secepat mungkin selama pandemi ini berlangsung. Sebagai praktisi PR, kita semua tahu bahwa PR terbiasa dengan speed. Kita terbiasa merespons kebutuhan manajemen, brand, konsumen dengan cepat. Namun saat ini, kita harus mundur dan berpikir sejenak. PR harus mencari alternatif solusi yang kreatif. Speed tidak menjadi relevan lagi di sini, namun berpikir secara kreatif, jernih dan objektif menjadi kunci!
Bagaimana PR bisa beradaptasi secara kreatif? Mari kita amati tren saat ini.
Lebih aktif di online
Ada kecenderungan masyarakat sudah bosan di rumah. Karenanya, akan lebih aktif di platform online dan media sosial selama masa isolasi ini. Apalagi, kita yang tinggal di DKI Jakarta akan mengalami Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) terhitung Jumat (14/4) hingga 14 hari ke depan.
Penelitian Cnet menunjukkan bahwa 58% pengguna ponsel sulit meninggalkan gawai mereka bahkan untuk 1 jam sekali pun. Artinya, di sini dibutuhkan peran strategis PR untuk membuat lebih banyak konten digital.
Ada survei lain yang menunjukkan 4 dari 10 orang lebih sering memeriksa berita perkembangan COVID-19. Maka PR-pun perlu aktif memasukkan konten yang berbicara tentang COVID-19 terutama aspek kesehatan dan optimisme dari sumber terverifikasi. Karena inilah yang ingin dicari dan dibaca oleh publik saat ini.
Habit konsumen berubah
Tren konsumen belanja via online meningkat drastis. Tidak saja aspek sekunder seperti pakaian tetapi juga aspek primer seperti bahan makanan pokok. Alasannya tentu saja, banyak karyawan yang harus menjalankan work from home (WFH) dan membatasi perjalanan keluar rumah.
Karenanya, lebih sedikit orang yang akan menghabiskan waktu di jalan. Media seperti billboard dan radio bisa jadi tidak terlalu efektif saat ini karena konsumen jarang berada di kendaraan. Kegiatan PR yang berbasis podcast, seperti Spotify atau Apple Music bisa menjadi alternatif. Dan, tentunya layanan video streaming seperti YouTube. Artinya, kita perlu melihat media online sebagai alternatif. Dan, PR harus secara cerdik menggunakan cara-cara dan innovative campaign baru demi menjangkau audiens ini.
Yang PR perlu antisipasi juga ialah setelah pandemi COVID-19 selesai, perilaku konsumen dalam menjalankan keseharian akan berubah. WFH dan belanja online bisa menjadi perilaku baru karena jauh lebih efektif dan produktif.
Tunjukan empati
Satu hal penting yang perlu diingat praktisi PR adalah konten-konten brand atau organisasi harus menunjukkan kepedulian terhadap konsumen dan masyarakat dalam masa sulit ini. Publik dan konsumen akan merasa senang jika diperhatikan oleh brand favorit mereka saat berada dalam isolasi.
Ada satu hal yang harus dipahami praktisi PR di era disrupsi ini. Konten yang bagus tidaklah cukup. Belum tentu konten Anda dibaca oleh audiens dan stakeholdersnya. Mengapa? Karena kompetisi meraih atensi! Faktanya ada 47.000 media di Indonesia saat ini. Dan, setiap jam ada 200 juta orang yang menonton YouTube, ada 1,3 juta konten per menit yang di-upload di Facebook, ada 4 juta foto yang diunggah di Instagram per jamnya, dan ada 6.000 kicauan yang di-share per detik di Twitter. Belum termasuk WhatsApp Group (WAG) yang Anda miliki saat ini.
Jangan heran jika CEO Microsoft Satya Nadela pernah berkata, “The true scarce commodity is increasingly human attention.”
Time to invest
Meski mendapatkan atensi dari audiens adalah hal yang sulit, bukan berarti aktivitas PR vakum selama Pandemi COVID-19 ini. Justru, inilah momentum yang pas bagi PR dan brand untuk berinvestasi di masa depan.
Dalam masa krisis, ada kecenderungan perusahaan menahan aktivitas PR bahkan sampai stop sama sekali. Padahal, dengan kontinuitas konten yang relevan, bahkan tetap berpromosi, eksistensi brand Anda akan selalu diingat oleh konsumen.
Yang harus diantisipasi adalah ketika pandemi COVID-19 berakhir, ekonomi akan rebound (titik balik) dan kembali naik. Kegiatan PR pun akan melonjak drastis. Jadi, inilah saatnya PR berinvestasi untuk perusahaan dan brand mereka. Bukan ketika ekonomi akan mulai naik. Kalau menunggu, bisa jadi PR sudah terlambat.
Jika Anda membaca buku Dr. Stephen R. Covey, The 7 Habits of Highly Effective People, ia menuliskan habit no. 7, yaitu Sharpen the Saw (mengasah gergaji). Esensi kebiasaan ini pada dasarnya adalah spirit of continuous learning dan terus belajar.
Dalam situasi COVID-19 di mana kita dikondisikan untuk WFH dan mengurangi aktivitas luar, saatnya para praktisi PR untuk mengasah gergajinya. Artinya, mengasah skill set-nya, belajar lagi , membaca buku-buku untuk menambah wawasan, bahkan mengikuti seminar-seminar online. Inilah saatnya untuk sharpen your saw! Dan jika semua sudah kembali normal, gergaji Anda sudah jauh lebih tajam dan lebih siap menghadapi pertumbuhan rebound ekonomi yang baru.
200 tahun lalu , Charles Darwin ungkapkan hal yang menurut saya tetap relevan bagi praktisi PR saat ini. Ia berkata, “It is not the strongest of the species that survives, nor the most intelligent that survives. It is the one that is most adaptable to change (bukan spesies yang terkuat atau yang paling pintar yang bisa bertahan. Namun yang paling bisa beradaptasi dengan perubahan).”
PR harus optimistis bahwa pandemi COVID-19 ini akan berakhir. Saatnya, praktisi PR Indonesia bersiaga dan segera beradaptasi!