Halal lifestyle kian menarik terutama bila membicarakan kompatibilitasnya dengan berbagai global tren lainnya, mulai dari prinsip bisnis yang etis hingga cara pemasaran yang memperjuangkan values tertentu. Itu sebabnya, selain populer di kalangan Muslim, produk dan jasa yang tadinya dikembangkan untuk mengakomodir konsumsi sesuai dengan tuntunan agama islam, kini juga dilirik sebagian kalangan non Muslim.
Sebut saja, Islamic banking sebagai ethical banking pascakrisis keuangan global di tahun 2008. Begitu pula dengan panduan konsumsi makanan dan minuman, yang akhirnya memicu kreativitas pemanfaatan bahan makanan dan pembuatan menu makanan bagi para pemain. Belum lagi mengenai sejumlah pelabuhan utama di dunia, termasuk di negara-negara mayoritas non Muslim, yang menjamin sebuah sistem logistik halal.
Harus diakui, peran media sosial begitu besar untuk membuat Generation M menjadi pasar yang menarik. Sejumlah global ikon dunia, dari arena politik, olahraga hingga industri hiburan, tidak mau terlewatkan dan sekadar menjadi greeting puasa dan Lebaran. Sebaliknya, konektivitas mereka dengan Generation M yang besar jumlahnya di seluruh dunia harus terjaga. Ini simbiosis mutualisme: ikon tersebut semakin besar follower-nya dan Generation M menjadi semakin populer karena ada endorsement mereka.
Lalu, apa sebenarnya Generation M dengan halal lifestyle-nya itu? MarkPlus melihatnya sebagai bagian dari anxieties dan desires kaum muda Muslim yang tidak mau mengalami stereotyping.
Bukan sekadar punya aktivitas yang sama normalnya dengan yang lain, tapi juga punya desires, intinya ingin lebih bagus bila dibandingkan generasi sebelumnya. Bedanya, di kaum muda Muslim, masa depan bukan hanya untuk urusan dunia, tapi juga akhirat. Inilah yang menjadi pembeda, mengapa kemudian jumlah kaum muda Muslim yang mau mengikuti tuntutan ketat mengonsumsi produk dan jasa dari beragam sektor industri semakin banyak.
Needs and Wants yang Unik dari Halal Lifestyle
Adanya latar belakang berbeda dari Generation M tersebut, membuat mereka punya needs and wants yang unik. Need makanan misalnya, secara universal harus halal. Tapi want-nya bisa beda. Misalnya, ada yang mesti dilengkapi dengan sertifikasi hasil audit yang proper atau ada yang cukup dengan rasa saling percaya.
Terkait bagaimana mempraktikkannya. Need-nya bisa melakukan kapan pun dan di mana pun. Tapi, want-nya jangan sampai menimbulkan kegaduhan. Memakan daging sapi halal untuk kaum Muslim, misalnya. Tapi kalau dilakukan di area yang banyak orang Hindu Indianya, ini bisa menimbulkan goncangan, karena sapi adalah binatang suci bagi mereka. Ini juga mirip dengan prinsip umum etiket mengkonsumsi produk dan jasa.
Lalu, terkait dengan siapa yang men-deliver. Supaya terjamin kehalalannya, mereka ingin yang mengantar adalah sesama Muslim. Tapi, want-nya compliance ke SOP yang halal, termasuk ke non-Muslim yang men-deliver. Suvenir asal Tiongkok, misalnya, bahkan ditawarkan kepada jemaah umrah dan haji di Madinah dan Mekkah.
Adanya needs dan wants yang unik di kalangan kaum Muslim, ternyata memunculkan habit dan behavior yang unik. Jemaah Umrah dan Haji yang menemukan gerai Starbucks beberapa langkah dari Mesjid utama di Mekkah dan Madinah, merasa menemukan simbol universal ketika bertemu dengan kaum Muslim dari seluruh penjuru dunia yang hadir di sana. Sebaliknya ketika berada di Tokyo atau Seoul misalnya, yang akan dicari adalah ada tidaknya sertifikasi halal. Artinya, menemukan sebanyak mungkin universalitas atau kesamaan behavior.
Sejumlah global brand yang paham dengan habit dan behavior tersebut, melakukannya dengan berkampanye di events besar kaum Muslim seperti bulan puasa. Alias menciptakan universalitas timbal balik. Gali lebih dalam potensi Halal Lifestyle dari ahlinya di Marketing Ramadhan Safari bersama MarkPlus, Inc. di tujuh kota besar Indonesia. Daftar sekarang di https://goo.gl/kg4AsW