Hari Gini Jadi Stand Alone Public Relation?

marketeers article
pr public relation agency hand holding speaker communication loud vector

Banyak perusahaan agensi PR mengamati bahwa telah terjadi perubahan fundamental di pasar saat ini. Semakin banyaknya kanal komunikasi yang digunakan, membuat konsumen menjadi tidak fokus. Dalam artian, sulit bagi PR untuk mencuri mind and heart konsumen.

Eugene Laksono, Head of Public Relations MSL, agensi PR yang kini bernaung di bawah salah satu grup agensi periklanan terbesar dunia asal Prancis Publicis Groupe menuturkan, hal yang men-trigger perubahan itu adalah kehadiran kaum milenial.

Sebagai target market terbesar di Indonesia yang jumlahnya mencapai 89 juta jiwa, milenial memengaruhi merek dalam melakukan komunikasi dan pemasaran.

“Sehingga PR yang menangani klien di industri konsumer dituntut untuk lebih kreatif dalam menjawab tantangan itu,” terang Eugene saat ditemui di kantornya di bilangan Kuningan, Jakarta.

Pasalnya, merek saat ini ingin merancang jurus-jurus yang membuat mereka dapat terus terhubung dengan milenial. Mereka ingin mereknya dibicarakan secara positif oleh kawula muda, dan tentu saja dikonsumsi oleh mereka.

“PR konvensional seperti government relation, public affairs, dan crisis management masih berjalan. Namun, yang menurut saya sedang mengalami perubahan besar adalah PR untuk consumer brand,” katanya.

Karenanya, PR juga mesti belajar memahami perilaku konsumen yang menjadi target market kliennya. Mereka juga dituntut untuk bisa membaca dan menganalisis data-data pasar yang tersedia. PR juga harus kreatif dalam membantu merancang kampanye pemasaran yang sesuai dengan key messages yang sudah ditetapkan oleh merek.

Trennya, kata Eugene, adalah integrated PR. Artinya, praktisi PR harus memberikan servis tidak hanya bagaimana membangun pemberitaan yang baik di media, melainkan juga terlibat dalam ideation suatu konten.

Memang, tidak semua PR memiliki kapabilitas itu. Kecuali ia berada dalam grup agensi besar seperti MSL (dulu bernama Leo Burnett) yang sejak awal menjadi bagian dari Publicis Groupe.

Agensi ini memiliki banyak anak usaha, seperti Starcom yang piawai di bidang analisis data, Zenith untuk digital marketing, dan Satchi Satchi yang mahir di bidang periklanan. “Jadi, kami saling berkolaborasi satu sama lain, dalam satu atap,” ujar dia.

Dengan strategi itu, PR setidaknya dapat menjawab tantangan bisnis mereka saat ini. Eugene mengaku bahwa banyak klien yang mempertanyakan bagaimana PR spending bisa membantu meningkatkan sales. Padahal, PR is all about awareness, not sales.

“Pada akhirnya, masalah klien adalah masalah kami juga. Nah, dengan integrasi dan kolaborasi itu, setidaknya ada titik terang. Justru yang akan sulit adalah mereka yang hanya menjadi stand alone PR,” papar dia.

Kolaborasi

PR saat ini dapat berkolaborasi dengan berbagai macam perusahaan. Misalnya saja dengan media buying yang memiliki tools untuk mengukur sejauh mana conversation di media sosial dapat memengaruhi penjualan.

Dengan tren belanja online yang meningkat di kota besar, sangat mungkin bagi brand dewasa ini untuk membuat kampanye komunikasi yang mengarah kepada penjualan dengan hanya sekali klik.

(Baca Juga: Public Relations di Tengah Media yang Berguguran)

Awalnya, PR membuat on ground activation berupa press conference. Berita pun tayang di online berbarengan dengan postingan para influencer di media sosial. Percakapan yang muncul di jagat media sosial inilah yang menjadi bekal pemasar untuk menarik massa menuju situs e-commerce.

“Memang, PR tidak harus melakukan hal itu. Tapi, apabila kami bisa menyediakan solusi, itu bisa menjadi unique selling point kami,” katanya.

Kendati memberikan dampak, merek mulai merancang PR digitalnya sendiri, khususnya di media sosial tempat di mana kaum milenial berkumandang. Head of Public Relation PT Toyota-Astra Motor (TAM) Rouli Sijabat mengaku, pihaknya sedang mencoba mempelajari PR di jagat media sosial. Salah satu fokusnya adalah bagaimana percakapan di medsos bisa bergerak positif untuk mereknya.

“Tapi menggunakan pembicaraan secara organik. Bukan transaksional. Kalau transaksional, banyak agensi yang menawarkan jasanya,” kata dia.

PR dan iklan seolah menuju satu kutub yang sama. Mereka yang dahulu dipertentangkan, kini berjabat tangan saling membantu tugas masing-masing. Pilihannya, antara PR yang dibungkus iklan. Atau iklan yang dikemas dalam wahana PR. Setujukah Anda?

Editor: Sigit Kurniawan

Related