HK: Inklusif Marketing Bagaikan Pisau Bermata Dua

marketeers article
Hermawan Kartajaya, Founder & Chair MCorp. (Sumber gambar: Marketeers/Nugraha.)

Inklusif marketing telah menjadi landasan penting bagi merek yang ingin membangun hubungan yang kuat dengan pelanggan mereka. Konsep ini tidak hanya tentang mewujudkan representasi yang lebih luas dari keberagaman manusia dalam kampanye pemasaran, tetapi juga tentang menanamkan nilai-nilai inklusi, kesetaraan, dan penghargaan terhadap keragaman dalam seluruh aspek bisnis.

Kendati demikian, Hermawan Kartajaya, pakar pemasaran sekaligus Founder & Chairman MCorp menjelaskan tidak mudah bagi seorang pemasar dalam menjalankan inklusif marketing. Pasalnya, pemasar dituntut untuk memberikan produk yang memiliki value with values.

BACA JUGA: HK: Kejar Target Keberlanjutan, Demarketing Bakal Jadi Tren Pemasaran

Adapun definisi dari value with values, yaitu perubahan dalam cara bisnis untuk mendapatkan nilai atau keuntungan dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip etika, tanggung jawab sosial, dan keberlanjutan ke dalam operasi mereka.

“Inklusivitas tidak hanya tentang berpikiran positif, tapi seperti pisau bermata dua. Benar atau salah kamu tidak tahu karena ada faktor FOMO (fear of missing out) sehingga hanya mengikuti tren tanpa melakukan mengkonfirmasi kebenarannya,” kata sosok yang akrab disapa HK dalam dalam Stadium Generale bertajuk Inclusive Immersive Marketing For Better Indonesia di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Jumat (3/5/2024).

BACA JUGA: HK: Tren Sustainability Berpeluang Besar Timbulkan Pergeseran Budaya

Hermawan menyebut menjadi seorang pemasar di zaman sekarang jauh lebih sulit dibandingkan dahulu. Sebab, perilaku masyarakat atau konsumen hanya didorong oleh faktor FOMO yang disebabkan karena media sosial.

Peraih gelar doctor honoris causa (H.C) pertama Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) ini menyebut zaman sekarang sebagai post truth era atau saat kebohongan bisa menyamar sebagai kebenaran. Dia mencontohkan saat ini media arus utama yang memberikan informasi berdasarkan kepakarannya makin kalah bersaing dengan media sosial.

Bahkan, influencer yang tidak memiliki kepakaran di bidang tertentu lebih dipercaya masyarakat karena memiliki banyak pengikut. Dengan begitu, menciptakan produk yang memiliki value with values makin sulit.

“Ini lebih sulit dilakukan oleh pemasar maupun masyarakat karena kita tidak tahu mana yang beretika dan mana yang tidak beretika,” ujarnya.

Untuk memberikan jalan keluar dari masalah ini, Hermawan mendorong para pemasar agar tidak hanya mementingkan value yang hanya berorientasikan pada keuntungan bisnis semata. Namun, lebih mengedepankan values yang berdasarkan pada representasi keberlanjutan atau aspek-aspek 5P (people, planet, prosperity, peace, and partnership).

Dengan cara seperti ini, lanjut Hermawan, value akan datang dengan sendirinya mengikuti values yang telah diterapkan pemasar. Contohnya, sekarang orang terkaya di Indonesia bukanlah pemilik pabrik rokok, namun pengusaha energi yang mulai mengarahkan bisnisnya menuju renewable energy yang makin dilirik banyak investor, negara, maupun konsumen.

“Kalau untuk menciptakan value with values tidak bisa sendiri, ya bisa bekerja sama dengan orang lain karena planet ini sangat besar untuk diselamatkan sendirian,” tuturnya. 

Editor: Ranto Rajagukguk

Related

award
SPSAwArDS