Kim Ki-chan, Immediate Past-President International Council for Small Business (ICSB) mengatakan bahwa kapitalisme yang mendominasi ekonomi negara dunia saat ini tidak berhasil mengentaskan masalah ketimpangan pendapatan. Alhasil, hal tersebut justru membahayakan nasib kapitalisme itu sendiri.
“Rasio gini atau ketimpangan pendapatan terus melaju tinggi. Di Korea, angkanya 30,2. Di Tiongkok 46,2. Di Jepang 22,7 dan di Amerika Serikat 45. Semakin tinggi angkanya, semakin besar jurang si kaya dan si miskin di negara itu,” tuturnya saat menjadi pembicara utama di The 4th Asian SME Conference 2016 di The Kasablanka, Jakarta, Rabu, (14/9/2016).
Karena itu, ia bilang, cara terbaik bagi perusahaan untuk menekan ketimpangan pendapatan adalah dengan tidak merumahkan tenaga kerja hanya demi memotong beban biaya perusahaan. Akan tetapi, hormati tenaga kerja dan dorong mereka untuk menikmati pekerjaannya.
“Sejauh ini, neoliberalisme telah mendorong perusahaan untuk bersaing tanpa ujung. Mereka melakukan restrukturisasi dengan merumahkan karyawan,” kata Kim.
Karena it, lanjut Kim, model manajemen kapitalisme yang relevan saat ini adalah Humane Entrepreneurship (kewirausahaan kemanusiaan_red).
“Yang mana perusahaan tidak harus memaksa karyawan untuk bekerja keras, melainkan membantu mereka menikmati pekerjaannya dan mewujudkan impian mereka melalui bekerja,” katanya.
Kim pun mendefinisikan sendiri tipe wirausaha ke dalam tiga hal. Pertama, wirausaha yang bekerja untuk dirinya sendiri. Kedua, wirausaha yang bekerja untuk perusahaan/organisasinya.
“Dan yang terakhir, yang saya perjuangkan, adalah wirausaha yang bekerja untuk kemanusiaan dan masyarakat,” papar Professor of Business School, Catholic University of South Korea ini.
Kim pun mengimbau bagi banyak pelaku usaha untuk menyadari terminologi “going concern” sebagai “going worry“. Going concern diartikan sebagai kelangsungan hidup perusahaan dan merupakan asumsi dalam pelaporan keuangan suatu entitas.
“Berarti perusahaan itu dianggap mampu mempertahankan kegiatan usahanya dalam jangka waktu panjang dan tidak akan dilikuidasi dalam jangka waktu pendek,” jelas Kim.
Sedangkan “going worry” mengajak perusahaan untuk selalu khawatir tentang keberlangsungan perusahaannya, meskipun laporan keuangannya positif. “Sebab, ada sudden shifting. Anda merasa tidak melakukan hal yang salah. Namun, tiba-tiba Anda kolaps,” ujarnya.
Kim mengambil contoh Chateau de Goulaine, merek anggur tertua asal Nantes, Prancis, sebagai bisnis yang mampu bertahan selama beradab-abad. Ia meminta pelaku usaha untuk belajar dari minuman beralkohol itu.
“Apa yang membuat perusahaan anggur bertahan sekian lama? Karena mereka memiliki pelanggan yang selalu meminum anggurnya terus-menerus. Artinya, kesuksesan ditentukan oleh pembelian berulang,” ucapnya.
Mengomentari Kim, Presiden Indonesia Global Compact Network (IGCN) Y.W Junardy mengatakan bahwa konsep Humane Entrepreneurship selaras dengan konsep Sustainable Development Goals (SDGs) yang digagas PBB, khususnya terkait poin untuk menekan ketimpangan sosial dan menghapus kemiskinan.
“Saya rasa konsep Humane Entrepreneurship Kim Ki-chan dapat menjadi platform bagi model bisnis UMKM yang diakui PBB. Sebab, belum ada model bisnis berbasis SDGs untuk UMKM di PBB,” terang Junardy.
Editor: Sigit Kurniawan