Hypefast membagikan wawasan baru mengenai tren pertumbuhan brand lokal yang dikemas dalam peluncuran program Think with Hypefast. Berangkat dari data yang berhasil dihimpun selama tiga tahun terakhir, CEO dan Founder Hypefast Achmad Alkatiri mengungkap sejumlah fenomena menarik dan wawasan terkini seputar tren brand lokal.
1. Pergeseran Preferensi Bisnis dari Kategori Fashion ke Kategori Kecantikan dan Kesehatan
Pesatnya penetrasi e-commerce di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir membawa kontribusi positif pada pertumbuhan brand lokal. Kemudahan akses menjalankan bisnis ritel secara daring memberikan peluang dan semangat bagi para pengusaha lokal untuk mendirikan brand dan toko online.
“Bersumber dari technology monitoring tim investasi kami, dewasa ini rata-rata dalam setiap tiga minggu ada satu brand lokal baru yang diluncurkan di Indonesia,” kata Achmad Alkatiri dalam keterangannya, Jumat (23/6/2023).
Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), transaksi e-commerce pada 2011 mencapai Rp 14 triliun dan untuk 2022 mencapai Rp 476 triliun atau meningkat hampir 33 kali. Pertumbuhan ini diperkirakan meningkat menjadi Rp 533 triliun pada tahun 2023.
Menurut Achmad Alkatiri, sebelumnya, untuk meluncurkan sebuah brand dibutuhkan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun serta harus disokong dengan modal yang besar. Sekarang, dalam enam sampai delapan minggu saja seseorang sudah dapat meluncurkan fashion brand dengan modal mulai dari Rp 3 juta.
BACA JUGA: Inisiatif Hypefast Dukung Industri Ekraf dan Brand Lokal Indonesia
Selanjutnya, untuk brand kecantikan dan kesehatan, prosesnya dapat memakan waktu empat hingga enam bulan dengan modal mulai Rp 50 juta. Kehadiran e-commerce kian menegaskan betapa memiliki bisnis brand lokal kini tak lagi membutuhkan modal besar.
Pasalnya, dalam 30 menit saja, siapa pun sudah bisa membuka toko online secara gratis dan menjangkau jutaan calon konsumen di Indonesia. Satu dekade lalu, kemunculan brand lokal baru lebih didominasi oleh produk fashion.
Hal ini karena proses produksi yang lebih mudah dan modal yang relatif lebih minim dibandingkan kategori lainnya. Kemudahan berbisnis fashion brand pun melahirkan makin banyak pemain dan kompetisi pun menjadi tinggi.
Akibatnya, brand lokal berlomba-lomba memenangkan hati konsumen lewat diskon dan perang harga. Inilah yang kemudian menciptakan pergeseran preferensi berbisnis dari kategori fashion ke kategori lainnya, seperti kecantikan dan kesehatan, yang membutuhkan modal lebih besar dan proses yang lebih panjang dibandingkan fashion.
“Di industri health and beauty, terdapat barrier to entry yang lebih sulit. Harapannya, kompetisi dapat lebih terkurasi dan margin pun menjadi lebih sehat,” ujar Achmad.
Data internal Hypefast per Juni 2023 menunjukkan rata-rata laba kotor untuk label fashion lokal berada di kisaran 42% dengan persentase pelanggan berulang (repeat customer) setiap bulannya mencapai 32%. Selanjutnya, brand kecantikan dan kesehatan, rata-rata laba kotor mencapai hingga 65%, dengan persentase pelanggan berulang hingga 58%.
Selisih laba kotor yang cukup signifikan ini memberikan motivasi besar bagi para pebisnis lokal, sekaligus menjawab makin banyaknya brand lokal kecantikan dan kesehatan yang akhir-akhir ini bermunculan.
2. Shopee Masih Menjadi Kanal Penjualan Terbesar, TikTok Tumbuh Pesat, Offline Mulai Dilirik
Dari data yang dikumpulkan, Shopee masih menjadi kanal utama untuk 71% brand lokal. Pelanggan aktif, kemudahan merchant tools dan subsidi gratis ongkir menjadi alasan utama.
Namun, selama satu tahun terakhir, ada fenomena baru: TikTok Shop yang tumbuh secara signifikan sebagai kanal penjualan online. Pemain brand lokal aktif yang lebih sedikit dan merchant fee TikTok Shop yang lebih rendah diungkapkan sebagai pertimbangan utama brand lokal mulai menaruh lebih banyak investasi usaha dan SDM.
Keunikan lain dari TikTok Shop yang mengusung konsep live shopping adalah profil konsumennya yang sangat responsif terhadap penjualan produk dengan diskon besar. Perilaku konsumen ini menjadikan lebih banyak brand lokal mengfungsikan TikTok Shop sebagai kanal “flashing out inventories”.
Untuk brand lokal terutama di kategori kecantikan yang sudah lebih besar secara omzet, offline channels mulai dilirik sebagai strategi ekspansi penjualan, mengingat makin banyak konsumen daerah yang mulai kembali berbelanja offline. Ekspansi ke offline melalui distributor ataupun membuka toko sendiri, merupakan juga strategi untuk menghadapi biaya penjualan toko online yang kian mengimpit, sekaligus demi menjangkau konsumen di kota tier 2 dan tier 3 yang lebih sensitif terhadap biaya pengiriman, mengingat subsidi gratis ongkir yang makin dikurangi oleh e-commerce players di Indonesia.
Data terbaru yang dikumpulkan oleh Hypefast menunjukkan kontribusi penjualan secara offline yang didapatkan oleh brand lokal berskala besar kini meningkat tajam. Dari 12% di tahun 2020 menjadi 48% pada 2023, disertai dengan peningkatan branding secara offline dan in-store di toko-toko kecantikan lokal di berbagai kota yang tersebar di Indonesia.
3. 98% Brand Lokal Aktif di Instagram
Keterbatasan modal kerap menjadi tantangan nyata dalam membangun brand. Data mencatat sekitar 80% modal awal dialokasikan untuk keperluan produksi dan membangun tim, sehingga biaya pemasaran harus dikelola dengan sangat efisien dan strategis.
Itulah mengapa mayoritas brand lokal pun memilih untuk mengembangkan bisnisnya secara daring terlebih dahulu, atau yang dikenal dengan istilah online-first brand.
BACA JUGA: Ini Pandangan Hypefast terhadap Social Commerce
“Saluran pertama yang brand lokal gunakan untuk mendirikan dan memperoleh sebagian besar pendapatan mereka berasal dari online marketplace. Demi mengoptimalkan pengeluaran pemasaran, tercatat 98% brand lokal di Indonesia memaksimalkan presensi brand mereka di platform Instagram serta memiliki tim khusus untuk mengelola akun bisnis tersebut secara aktif untuk membangun organic community. Dalam satu dekade terakhir ini, Instagram telah menjadi medium komunikasi penting dalam pemasaran daring dan branding,” Achmad memaparkan.
4. Uang dan Modal Bukan Tantangan Utama Brand Lokal
Salah satu hasil temuan yang tak kalah menarik dari dinamika brand lokal berkaitan dengan masalah modal. Uniknya, di era modern ini modal untuk merintis dan membangun brand tak lagi sekadar berupa dana, namun juga sumber daya manusia.
“Yang mengejutkan, modal ternyata bukan tantangan utama bagi brand lokal. Sekitar 72% brand lokal menyatakan bahwa merekrut talenta berkualitas tinggi adalah tantangan terbesarnya,” tutur Achmad.
Tantangan utama lain yang juga dihadapi oleh brand lokal di samping modal dan kompetisi yang makin tajam adalah kenaikan biaya penjualan yang signifikan dari online marketplace. Achmad menjelaskan adanya tekanan terhadap profitabilitas perusahaan marketplace berdampak pada kenaikan biaya penjualan (merchant fee) yang tinggi, terutama untuk pemain besar.
“Kenaikan selama satu tahun terakhir ini berdampak langsung pada margin brand lokal. Begitu juga dengan pengurangan subsidi gratis ongkos kirim yang berdampak pada penurunan daya beli konsumen, terutama yang tinggal di daerah-daerah, karena biaya pengiriman yang lebih mahal,” katanya.
Melihat fenomena dan rangkaian data di atas, Achmad Alkatiri menekankan pentingnya brand lokal untuk mampu mengenali potensi pasar serta memiliki ketangkasan untuk menjangkaunya.
“Brand lokal kini telah mengubah peta persaingan. Tak hanya melahirkan peluang, tapi juga tantangan. Namun saya percaya, dengan pemahaman yang mendalam dan strategi yang tepat, brand lokal bisa terus berinovasi, berkembang, dan memenangkan pasar,” tutur Achmad Alkatiri.
Editor: Ranto Rajagukguk