IGCN Ajak Publik dan Swasta Lakukan Aksi Kolektif Anti Korupsi
Korupsi adalah salah satu faktor penghambat pembangunan berkelanjutan. Ancaman ini perlu dimitigasi dengan aksi kolektif yang didukung banyak pihak.
Melihat hal tersebut, Indonesia Global Compact Network (IGCN) mengajak publik dan pihak swasta untuk berkolaborasi bersama-sama dalam aksi kolektif untuk berkomitmen memberantas korupsi. Sebagai informasi, IGCN adalah local network dari UN Global Compact di Indonesia yang juga anggota dari B20 Integrity & Compliance Task Force.
Aksi kolektif antikorupsi ini turut didukung oleh mitra strategis IGCN, yaitu Koalisi Anti Korupsi Indonesia (KAKI), Transparency International Indonesia (TII), Universitas Paramadina, dan International Chamber of Commerce (ICC) Indonesia. Olajobi Makinwa, Chief, Intergovernmental Relations UN Global Compact menyatakan transparansi dan akuntabilitas adalah dua sisi mata uang yang sama pentingnya.
Menurutnya, transparansi diperlukan agar masyarakat dapat meminta pertanggungjawaban lembaga, manajer, atau pemimpin dalam menjalankan tugas yang diamanatkan.
“Transparansi tanpa akuntabilitas tidak ada artinya. Korupsi akan menjadi kanker di seluruh dunia. Oleh sebab itu, transparansi serta akuntabilitas sangat penting untuk didukung oleh aksi kolektif bersama sektor swasta,” kata Olajabi dalam pertemuan side event B20 bertajuk “Dialog Kebijakan Publik-Swasta Tingkat Tinggi Dalam Mempromosikan Transparansi dan Akuntabilitas”, Selasa (27/09/2022).
Berdasarkan penilaian Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2021 dari Transparency International, Indonesia memiliki skor 38 dari 100 poin dan berada di peringkat ke-96 dari 180 negara yang dinilai. Data ini bukanlah hal yang membanggakan.
Sebab, makin kecilnya IPK, maka minim pula kepercayaan publik terhadap negara tersebut. Sementara itu, menurut data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), semenjak tahun 2004 hingga 2022, sebaran kasus korupsi lebih banyak didominasi oleh lembaga pemerintah pusat, yakni sebanyak 409 kasus.
Namun demikian, jika dilihat dari profesi, pelaku korupsi peringkat tertinggi berasal dari sektor swasta, dengan jumlah total 310 kasus. Pada kesempatan yang sama, Josephine Satyono, Direktur Eksekutif IGCN menyebutkan telah terjadi dua diskusi kelompok pada Juli dan Agustus 2022.
Diskusi tersebut berhasil mengidentifikasikan indikator korupsi, terutama di sektor agribisnis.
“Temuan utama dari diskusi tersebut adalah kurangnya integritas dan konflik kepentingan. Selain itu, sistem pelaporan tidak efektif dan kurangnya upaya tindak lanjut, lemahnya data, serta kebijakan yang tidak konsisten dan tumpang tindih,” kata Josephine.
Josephine menambahkan diskusi tersebut pun juga menyepakati perlunya aksi kolektif dari berbagai pihak. Pasalnya, korupsi adalah permasalahan sistematis yang melibatkan banyak pemangku kepentingan.
“Visi untuk menciptakan lingkungan bisnis yang lebih bersih harus terus didorong oleh berbagai pihak, yaitu pemerintah, sektor swasta dan masyarakat sipil secara bersama,” tutur Josephine.
Editor: Ranto Rajagukguk