Impor Ilegal Bikin 60 Perusahaan Tekstil Bangkrut, 250 Ribu Pekerja Kena PHK

marketeers article
Industri tekstil Indonesia (Foto: Wifkain)

Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI) melaporkan sejak tahun 2022 hingga 2024 sebanyak 60 perusahaan tekstil mengalami kebangkrutan. Hal ini disebabkan lantaran membanjirnya produk-produk tekstil impor ilegal dengan harga murah.

Redma Gita Wirawasta, Ketua Umum APSyFI menjelaskan dengan adanya permasalahan tersebut menyebabkan 250.000 karyawan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Kondisi tersebut bahkan terjadi di sektor hilir dan tengah industri tekstil yang telah berhenti beroperasi.

BACA JUGA: Banjir Impor, Pengusaha Tekstil Lokal Sulit Jual 1,5 Juta Meter Bahan

“Tahun 2024 sudah banyak pabrik yang tutup,” kata Redma melalui keterangan resmi, Selasa (17/12/2024).

Menurutnya, penutupan perusahaan-perusahaan tekstil ini dipicu oleh meningkatnya impor ilegal yang mengalir ke pasar domestik tanpa kontrol yang ketat dari pemerintah. Hal ini telah memperburuk kondisi industri tekstil di Indonesia, yang sebenarnya sudah mengalami deindustrialisasi selama sepuluh tahun terakhir.

BACA JUGA: Order Turun 51%, Industri Tekstil PHK 79.316 Pekerja

Saat pandemi COVID-19, pada tahun 2021, ketika impor dari Cina terhenti, industri tekstil Indonesia sempat mengalami pemulihan. Namun, begitu lockdown berakhir dan impor dibuka kembali, barang-barang ilegal pun membanjiri pasar, membuat banyak perusahaan terpaksa menghentikan operasional mereka.

Kondisi ini juga berdampak pada sektor-sektor terkait, seperti industri petrokimia dan produksi Purified Terephtalic Acid (PTA), yang merupakan bahan baku utama tekstil. Redma bilang jika produksi PTA terganggu, permintaan listrik untuk sektor tekstil pun menurun.

“Masalahnya adalah impor yang tidak terkendali. Ini menurunkan utilisasi industri kita dan berdampak pada sektor lain, seperti listrik dan logistik,” katanya.

Industri tekstil sebenarnya sangat penting bagi perekonomian Indonesia, dengan kontribusi 11,73% terhadap konsumsi listrik sektor industri dan 5,56% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Namun, sebagian besar pasar domestik kini dipenuhi oleh barang-barang impor ilegal yang menyebabkan kerugian bagi negara, baik dari sisi pajak maupun bea masuk.

“Impor ilegal menjadi pembunuh utama bagi industri tekstil Indonesia, dengan sekitar 40% barang yang masuk ke Indonesia tidak tercatat secara resmi,” ujar Redma.

Redma mendesak pemerintah segera mengatasi masalah impor ilegal ini untuk menyelamatkan pasar domestik dan memungkinkan industri tekstil lokal pulih. Bahkan, menurutnya, sektor ini bisa kembali menyumbang hingga 8% terhadap PDB jika masalah ini dapat diatasi.

Untuk itu, berbagai langkah harus diambil, termasuk pembatasan impor yang lebih ketat dan perbaikan sistem di pelabuhan.

“Ada kelemahan sistem di pelabuhan, terutama terkait penggunaan scanner dan data manifest import atau dokumen resmi barang impor yang tidak sinkron. Hal ini menjadi celah bagi masuknya barang ilegal,” ucapnya.

Redma turut menekankan pentingnya meningkatkan daya saing produk lokal. Dengan memanfaatkan potensi pasar domestik yang besar, Indonesia bisa menghidupkan kembali industri tekstil dan mengurangi ketergantungan pada impor.

“Namun, semua ini harus dimulai dengan memperbaiki regulasi dan menangani masalah impor ilegal,” tuturnya.

Editor: Ranto Rajagukguk

Related

award
SPSAwArDS