Melakukan transaksi keuangan online sudah menjadi pilihan mengingat kemudahan yang ditawarkan. Aktivitas seperti transfer uang, pembelian tiket, pembayaran listrik, hingga pembayaran tagihan bulanan lainnya bisa dilakukan dengan sekali klik. Namun, di balik kepraktisan dalam melakukan transaksi keuangan online, ada ancaman siber yang mengintai.
“Berbagai bentuk ancaman keuangan online semakin berkembang. Selain penipuan online dengan gaya tradisional, kini para penjahat siber mengeksploitasi serta mencari cara baru untuk menipu konsumen. Hal ini membuat pengguna internet semakin waspada ketika melakukan transaksi keuangan online atau mengklik link mencurigakan yang sepertinya berkaitan dengan bank mereka,” ujar Ross Hogan, Global Head of Fraud Prevention Division di Kaspersky Lab.
Penelitian Kaspersky Lab menemukan 48% konsumen menjadi target aksi penipuan dengan cara mengelabui mereka agar mengungkapkan informasi sensitif dan data keuangan untuk tindak kriminal. Yang mengkhawatirkan, dari 26 negara yang di survei, Indonesia menempati posisi tertinggi sebesar 26% konsumen telah kehilangan uang mereka akibat menjadi target aksi penipuan online. Posisi selanjutnya ditempati Vietnam sebesar 25% dan diikuti oleh India sebesar 24%.
Hampir setengah dari pengguna internet mengalami ancaman keuangan selama periode survei 12 bulan. Ancaman termasuk menerima e-mail mencurigakan yang mengaku dari bank (22%) atau situs ritel (15%), dan halaman web yang mencurigakan dan meminta data keuangan (11%).
Bentuk ancaman keuangan yang dialami para konsumen di antaranya 6% konsumen kehilangan uang karena scams atau penipuan online, 4% menjadi korban kebocoran data dan kehilangan uang melalui organisasi keuangan dan 3% konsumen yang memiliki cryptocurrency (seperti BitCoin) atau e-money dicuri. Secara keseluruhan, 11% pengguna internet global melaporkan uang mereka telah dicuri secara online.
Penelitian ini juga menemukan bahwa ketika uang konsumen dicuri, maka mereka menderita kerugian dengan estimasi rata-rata sebesar US$ 283. Hanya setengah (54%) dari mereka yang terkena dampak hilangnya uang berhasil mendapatkan kembali secara utuh dana mereka yang dicuri dan seperempat (23%) konsumen yang sama sekali tidak berhasil mendapatkan dana mereka kembali.
Sementara itu, sambung Hogan, untuk kerugian keuangan sebagai akibat dari kebocoran data organisasi keuangan atau penipuan cryptocurrency masih relatif rendah. Namun, tetap saja keduanya merupakan cara yang cukup menguntungkan bagi para penipu online untuk menargetkan dan mencuri uang dari pengguna internet.
“Dengan ancaman baru berkembang setiap hari, konsumen mengharapkan bank dan organisasi keuangan untuk menjaga dan menjamin keamanan uang mereka dan ketika mereka bertransaksi keuangan,” tutup Hogan.