Banyak perusahaan yang melirik analisis data saat ini. Pasalnya, dengan analisis tersebut, sebuah merek maupun perusahaan dalam memetakan langkah apa yang bisa dilakukan untuk meningkatkan penjualan. Namun, yang menjadi kendala adalah minimnya sumber daya manusia di bidang analisis data.
Menurut McKinsey Global Institute dan McKinsey’s Business Technology Office, saat ini jumah data scientist di Amerika Serikat kurang dari 200.000 orang. Padahal, dibutuhkan setidaknya 490.000 orang.
“Dunia kini membutuhkan para data scientist untuk membaca dan menganalisis berbagai data di masa depan,” tutur Erwin Achir, Country President Teradata Indonesia di Hotel Mulia Jakarta, Selasa, (16/8/2016).
Menurut Erwin, sedikitnya data scientist memberikan peluang bagi Indonesia yang masih dianggap early adopter di bidang big data. Data scientist adalah gabungan antara ahli statistika dengan mereka yang lama bermain dengan angka.
Sekadar informasi, gaji data scientist di Paman Sam sebesar US$ 111.000. Lebih tinggi ketimbang data analyst yang mencapai US$ 70.000. Terlebih, pasar big data di seluruh dunia sebesar US$ 70 miliar dengan pertumbuhan tahunan rata-rata 17%.
Sebagai perusahaan big data, Teradata pun melakukan edukasi pasar dengan membuat program-program bisnis. Misalnya, ia meluncurkan layanan Thing Big yang memberikan konsultasi analisis, mulai dari pengelolaan open data (data terbuka), termasuk megelola data Hadoop.
Manfaat open data dapat dirasakan mulai dari hal yang sederhana. Misalnya, mengetahui rute bersepeda yang paling aman dan cepat menuju kantor, hingga ke hal yang lebih mendalam, seperti mendorong perbaikan-perbaikan layanan publik di berbagai bidang.
Editor: Sigit Kurniawan